Joko Widodo Presiden kaget rasio penduduk Indonesia dengan pendidikan S2 dan S3 terhadap populasi produktif masih sangat rendah.
“Saya kaget juga, Indonesia itu di angka 0,45 persen. Negara tetangga kita Vietnam, Malaysia, sudah di angka 2,43 persen. Negara maju 9,8 persen. Jauh sekali,” kata Jokowi dalam Forum Rektor Indonesia (FRI) di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Senin (15/1/2024).
Oleh karena itu, Jokowi berencana mengambil kebijakan untuk mengejar angka yang masih 0,45 persen itu. “Tak tahu anggarannya akan didapat dari mana, tapi akan kami carikan agar S2 dan S3 di usia produktif itu betul-betul bisa naik secara drastis,” katanya.
Ia mengaku paham bahwa upaya menaikkan rasio tersebut membutuhkan biaya di tengah tekanan berat fiskal. Tetapi menurutnya, Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan hal yang penting, apalagi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan akan menjadi kunci dalam mewujudkan Indonesia emas.
Sehingga, pembiayaan pendidikan dan riset harus tetap diupayakan dengan optimal. Bukan hanya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi juga pemanfaatan dana abadi.
Jokowi menyebut, APBN untuk pendidikan dari 2009 hingga 2024 mencapai Rp6.400 triliun. Lalu dana abadi Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) pada saat pertama kali dibuka ada satu triliun dan di 2023 mencapai Rp139 triliun. Serta jumlah penerima beasiswa menjadi tujuh kali lipat dari awal LPDP dibuka.
Tetapi, ia mengatakan bahwa capaian itu masih kurang, sehingga perlu ditingkatkan lagi untuk mendapatkan hasil pendidikan yang lebih baik.
Menanggapi hal itu, Prof. Dr. Mohammad Nasih Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) periode 2022-2023 menjelaskan, ada banyak faktor yang membuat rasio lulusan S2 dan S3 di Indonesia masih rendah. Ia menilai terdapat banyak aspek yang perlu diurai.
“Saya sangat sepakat dengan kawan-kawan yang menyinggung soal ekosistem. Sebab dalam dunia kerja tidak ada bedanya antara S1 dan S2 berkaitan dengan remunerasi maupun reward yang diberikan. Bahkan di instansi pemerintah saja, kalau kita berbicara PNS, kolongan 3A dan 3B yang S2 itu kan ya tidak jauh-jauh berbeda. Sehingga memang, istilah kita dalam bahasa investasi, untuk masuk ke jenjang S2 dan S3 itu tidak balik modal,” kata Prof Nasih ketika mengudara dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (16/1/2024).
Menurutnya, lain halnya S2 atau S3 menjadi syarat untuk menduduki jabatan tertentu. Sehingga yang bersangkutan pasti akan mengejarnya. “Tapi kalau hanya untuk posisi kerja biasa, mereka biasanya tidak mengejar pendidikan itu karena return on investment-nya itu kecil,” jelasnya.
Nasih menyebut apa yang disampaikan Joko Widodo adalah hal yang bagus dan sudah lama dinantikan. Jokowi juga menawarkan beasiswa yang lebih baik dan lebih tinggi jumlahnya.
Menurut Nasih, beasiswa beasiswa S2 dan S3 pada 2020 lalu hanya 3.000 hingga 4.000 beasiswa. Dalam pemaparan di forum Senin lalu, FRI menargerkan 10.000 beasiwa untuk S2 dan S3 pada 2034.
“Karena kalau tidak ada beasiswa, orang pasti akan malas. Itu yang perlu didorong. Terkait bidang, kami bersepakat untuk fokus ke bidang sains, teknologi, matematika, dan seterusnya itu. Itu yang akan menjadi dorongan utama untuk S2 dan S3. Tapi S1-nya juga harus dibenahi dan dinaikkan juga,” jelas Nasih.
Nasih juga mengomentari pernyataan Jokowi yang membandingkan rasio pendidikan di Indonesia dengan negara lain seperti Malaysia dan Vietnam. Ia menjelaskan, bahwa Indonesia dewasa ini lebih fokus ke jenjang S1. Sedangkan beban S1 di Indonesia itu terlalu tinggi dibandingkan dengan luar negeri.
“Di luar negeri tidak perlu sampai 150 SKS untuk bisa lulus S1. Sehingga kualitas S1 kita di Indonesia itu sebetulnya di antara S1 dan S2-nya luar negeri,” ucapnya.
Kemudian jika berbicara soal mata kuliah dan lain-lainnya, dan ini yang kemudian masih menjadi fokus pendidikan di Indonesia, Nasih menyebut di luar negeri fokusnya tidak lagi di S1. Banyak perguruan tinggi yang kemudian didorong untuk hanya menyelenggarakan S2 dan S3 dalam bentuk research university.
Yang tidak kalah penting, lanjut Nasih, 0,45 persen dari 270 juta penduduk Indonesia itu jauh lebih besar daripada 4 persen dari penduduk Vietnam.
Rektor Universitas Airlangga (Unair) tersebut juga mengomentari rencana pemerintah untuk meningkatkan dana riset dan pendidikan. Termasuk menaikkan dana untuk penerima beasiswa LPDP.
“Cuman saya melihat bahwa LPDP kita itu agak kurang fokus. Hampir semua orang bisa mendapatkan tanpa kemudian baliknya itu kira-kira ber-impact atau tidak pada berbagai kegiatan di instansi tempat mereka mengabdi. Saya pikir kalau LPDP bisa lebih fokus pada pengembangan SDM dan terutama untuk pengembangan periset-periset kita. Atau pengembangan ilmu, teknologi, dan inovasi,” ujarnya.
Mengakhiri pembicaraan, Nasih menyebut FRI akan terus berkontribusi, berkolaborasi dan melakukan pembicaraan, diskusi, dan lain-lain untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Selain itu, FRI terus berikhtiar bersama pemerintah untuk menangani stunting hingga mengembangkan literasi masyarakat.
“FRI tidak bekerja sendiri, tapi berkolaborasi antar perguruan tinggi dengan berbagai macam instansi untuk bersama-sama meningkatkan kualitas SDM. Untuk menyiapkan agar bonus demografi itu benar-benar bisa kita nikmati dan kita peroleh pada 2045,” terangnya. (saf/ham)