Kasus kekerasan balita berinisial MK (2 tahun) di Depok, Jawa Barat, hingga mengalami trauma serta luka memar pada bagian dada dan punggung menjadi sorotan nasional. Pasalnya, kekerasan itu dilakukan oleh tersangka berinisial MI yang tak lain adalah pemilik tempat penitipan anak atau daycare.
Aksi MI sebelumnya viral setelah terekam melakukan pemukulan terhadap MK yang terjadi pada 10 Juni 2024 lalu. Tersangka sendiri sudah ditangkap petugas kepolisian, Rabu (31/7/2024) lalu.
Menurut polisi, dari keterangan pelaku, motif yang bersangkutan melakukan penganiayaan kepada anak yang dititipkan oleh orang tua di daycare miliknya itu karena khilaf.
Terkait hal ini, Ida Widayati Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-P2KB) Surabaya mengatakan, harusnya memang diperlukan syarat-syarat khusus untuk menjadi petugas daycare, utamanya kondisi psikologis.
“Ini harusnya dites dulu dari awal, apakah memang mampu untuk melakukan pengasuhan kepada anak atau bagaimana. Karena kalau yang gampang tersulut emosinya kan tentunya sudah tidak layak dia sebagai petugas daycare, jadi harus ditest dulu, bahkan harus punya sertifikat khusus sebagai petugas daycare,” ujar Ida waktu mengisi program Semanggi Suroboyo, Jumat (2/8/2024), yang membahas soal masih maraknya kasus kekerasan anak.
BACA JUGA: Pemilik Penitipan Anak yang Aniaya Balita di Depok Ditangkap, Motifnya karena Khilaf
Selain itu, menurutnya siapapun yang bekerja di daycare maupun panti asuhan yang bersentuhan dengan anak harus legowo, karena diberi amanah oleh orang tua yang menitipkan.
“Memang seharusnya ada ilmu-ilmu atau apa ya mbak ya edukasi yang harus diberikan sebelum beliau-beliau ini sebagai bekerja di panti asuhan ataupun di daycare,” ujarnya.
Sementara untuk orang tua yang menitipkan anaknya, Ida meminta supaya memastikan betul bagaimana standar operasional prosedur (SOP) dari daycare tersebut.
“SOP-nya seperti apa, kemudian karakter dari pengasuhnya itu seperti apa, karena kita kan tidak tahu ya pas sehari-harinya begitu anak kita sudah dititipkan, kita tidak bisa mantau secara terus-menerus,” bebernya,
Kesempatan yang sama, Satiningsih Dosen Fakultas Psikologi Unesa mengatakan kasus penganiayaan daycare tersebut sangat memprihatinkan mengingat anak-anak yang dititipkan untuk dilindungi, justru mendapatkan hal yang sebaliknya.
“Jadi anak-anak yang harusnya terlindungi itu malah justru menjadi korban. Itu kan berarti hak-haknya anak yang harusnya mendapatkan kenyamananan, keamanan, itu tidak dia dapatkan,” kata Tining sapaan akrabnya.
Selain itu, Tining yang juga psikolog volunteer di Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) menyebut, akan muncul trauma sewaktu-waktu pada sang anak ketika beranjak dewasa, setelah sebelumnya mengalami kekerasan saat umurnya ada di bawah lima tahun.
“Apa yang terjadi pada anak ini akan menjadi masalah dia di kemudian hari dan lima tahun pertama kehidupan itu sudah menjadi banyak kasus-kasus yang menjadi masalah di fase dewasa. Itu kalau tidak tertangani ya, maksudnya tidak teratasi dengan psikoterapi dengan cepat,” ungkapnya.
Adapun dampak yang terjadi, menurutnya akan tergantung pada anak tersebut mempersepsikan peristiwa. Contohnya menjadikan lingkungannya tidak aman dan nyaman untuk dirinya sendiri.
“Ketika dia fase dewasa pun dia akan merasa tidak nyaman dengan aktivitas yang dia lakukan. Makanya itu muncul permasalahan psikologis, personal, sampai mungkin produktivitas kerja itu juga berpengaruh,” bebernya.
Karenanya, dia sangat setuju jika orang-orang yang bersentuhan dengan anak di lembaga pendidikan maupun daycare, harus ada sertifikasi dan dites secara psikologi.
“Jadi kalau di daycare, saya rasa harus dan wajib yang namanya pelaksana, pengelola, itu harus di-psikotes. Dan dia harus menjalani magang dulu sebenarnya untuk mendapatkan sertifikasi itu,” pungkasnya. (bil/ipg)