Senin, 25 November 2024

Belajar dari Kasus Visa Haji Tak Resmi, Ketua Umum AMPHURI Ingatkan Masyarakat Cek Legalitas PIHK

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Jemaah haji debarkasi Surabaya terakhir tiba di Bandara Juanda, Senin (22/7/2024). Foto: Humas Kemenhub

Operasional ibadah Haji 1445 H dinyatakan selesai oleh Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama (Menag) pada 25 Juli 2024 lalu. Namun, penyelenggaraan tersebut meninggalkan catatan berupa masih adanya laporan jemaah ilegal atau yang tidak memiliki visa haji resmi.

Beberapa jemaah haji non resmi itu ada yang ditangkap petugas Saudi, namun ada juga yang meninggal dunia kelelahan usai puncak haji di Arafah, karena tidak terdaftar secara resmi sehingga tak punya tempat/tenda untuk istirahat.

Terkait permasalahan ini, Firman M. Nur Ketua Umum Asosiasi Muslim Penyelenggarah Haji dan Umrah RI (AMPHURI) menegaskan,  berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh, penyelenggaraan haji hanya dilakukan oleh dua pihak yakni pemerintah dan swasta.

“Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama yang disebut dengan haji reguler, kuotanya sebanyak 92 persen dari kuota nasional. Kemudian yang kedua adalah haji melalui swasta yang dikenal dengan PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) yang kuotanya hanya delapan persen daripada kuota nasional,” jelasnya waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (5/8/2024).

Dia menjelaskan hanya dua pihak itulah yang punya hak secara konstitusi untuk melayani jemaah haji dengan visa haji, karena Arab Saudi hanya mengizinkan jemaah dengan visa haji.

Lebih lanjut, Firman mengatakan haji khusus melayani dua jenis visa; yakni visa delapan persen dari pemerintah yang prosedurnya adalah first come first serve, dan visa mujamalah yang diberikan kepada individu atau lembaga tertentu lewat cara dibeli.

“Hanya dua itu saja visa di PIHK yang dapat kami layani. Nah, dengan demikian, itu sesuai dengan ketentuan di Indonesia dan juga sesuai dengan ketentuan yang diterapkan oleh Pemerintah Arab Saudi bahwa haji harus dilaksanakan dengan membawa visa haji,” bebernya.

Keresahan soal pihak-pihak yang menawarkan jasa pelayanan haji tanpa harus menunggu juga jadi sorotan dalam Operasional Haji 2024 kemarin. Salah satunya seperti yang dialami Bu Nunuk, pemilik kedai STMJ legendaris Surabaya.

Bu Nunuk bersama suami, sebelumnya diberangkatkan haji oleh perusahaan yang mengaku sebagai travel haji resmi dengan mekanisme furoda, atau paket haji khusus yang keberangkatannya menggunakan visa haji undangan resmi dari pemerintah Arab Saudi.

Tapi ternyata, Bu Nunuk dan suami diduga oleh pihak keluarga jadi korban penipuan travel haji tidak resmi. Pasalnya sejak tiba di Arab Saudi, banyak kejanggalan yang dialami keduanya seperti menginap di apartemen, kejar-kejaran dengan polisi, hingga perjalanan berangkat haji yang banyak transit dan dilarang memakai seragam haji.

Akhirnya saat puncak haji, tepatnya sesudah Arafah, Bu Nunuk diduga kelelahan dan mengalami dehidrasi sebelum hilang lima hari waktu lempar jumrah. Bu Nunuk kemudian diketahui sudah meninggal, setelah kerabatnya di Tanah Suci mengetahui nama yang bersangkutan sudah terncatum di salah satu RS forensik di Arab Saudi.

Terkait hal ini, Ketua Umum AMPHURI turut menjelaskan kalau di Indonesia sekarang hampir ada 700 perusahaan travel yang memiliki izin operasional sebagai PIHK.

“Tapi masalah yang kita hadapi saat ini adalah banyak individu-individu yang mengatasnamakan personal, oknum atau lembaga atau ini yang berperilaku sebagai PIHK, sedangkan mereka tidak punya izin operasional. Nah, ini yang berpotensi untuk merugikan masyarakat,” ujarnya.

Firman juga menyebut, Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 juga sudah tercantum pasal-pasal pidana bagi kelompok, perorangan, atau oknum yang berperilaku sebagai PIHK tanpa izin resmi. “Itu mendapatkan pasal-pasal pidana yang minimal dari lima tahun sampai 10 tahun penjara, dan cukup berat sebetulnya,” ucapnya.

Soal haji Furoda, menurut Firman pihak Kerajaan Saudi memang memberikan otoritas kepada individu atau kelompok tertentu di sana untuk bisa mengundang orang datang berhaji secara gratis. Tapi saat ini, kuota Furoda diperbolehkan untuk jadi komoditas yang memang diperjual belikan oleh PIHK yang memang memiliki izin resmi.

Dia mengingatkan, visa haji untuk mujamalah itu mahal. Harganya minimal Rp120-130 juta, dan hanya untuk visa saja. Karenanya, kalau ada yang menjual dengan nominal tidak jauh dari harga itu, maka perlu dipertanyakan.

“Filter pertama untuk memastikan bahwa kita tidak terjebak dengan iming-iming yang tidak bertanggung jawab, adalah memastikan siapa yang menjual, apakah benar-benar PIHK. Bagaimana cara mengetahui bahwa dia benar-benar PIHK yang berizin? Ya silakan cek di website Kementerian Agama, ada informasi tentang nama pihak, pimpinan, alamat, segala macam,” bebernya.

Kalaupun sudah terjadi kesepakatan, Firman meminta agar masyarakat memastikan pembayaran tidak melalui rekening perseorangan, melainkan menggunakan rekening milik PIHK.

Sementara untuk para PIHK resmi, Firman menjelaskan kalau AMPHURI telah berkali-kali mengingatkan dan mengarahkan kepada anggota harus bisa menjaga nama baik, dengan menjual kuota sesuai ketentuan yang disepakati.

“Yang menjadi kendala, saat ini ada individu-individu menjual dengan over confidence bisa tanpa mengantri segala macam, masuk kuota resmi pemerintah itu mustahil dilakukan secara sporadis, karena semua dilakukan dengan sistem first come first serve, siapa yang mendaftar duluan, ya itu yang akan berangkat,” bebernya.

“Kalau ternyata dia melompati orang lain, perlu diingat ini adalah perjalanan ibadah haji yang harus suci harta-nya, suci hatinya, suci prosesnya, sehingga menjadi Haji Mabrur,” tutupnya. (bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
34o
Kurs