Sabtu, 16 November 2024

Banyak Kelemahan dalam Tangani Kasus KDRT, KemenPPPA Inisiasi Revisi UU PKDRT

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Eni Widiyanti Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA,. Foto: Antara

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menginisiasi revisi Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), karena menilai banyak kelemahan penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang jumlahnya cenderung meningkat.

“UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) harus lebih powerful. Ini akan diusulkan ke DPR. Harus masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dulu,” kata Eni Widiyanti Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA di Jakarta, Jumat (15/11/2024) dilansir Antara.

Menurutnya, dari jumlah kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, sebagian besar adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Berdasarkan data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), 74 persen kekerasan itu terjadi di rumah tangga. Pelakunya 54 persen adalah suami, 13 persen mantan pacar, kemudian ada orang tua, guru, saudara,” kata Eni.

Padahal, kata dia, Indonesia sudah memiliki UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. “Kita sudah punya UU PKDRT yang usianya sudah 20 tahun, kenapa ini (KDRT) masih tinggi?” katanya.

Menurut Eni Widiyanti, terdapat beberapa kendala dalam menerapkan UU PKDRT. Pihaknya mencontohkan kasus KDRT yang dilaporkan ke polisi, berakhir secara restorative justice atau damai.

Selain itu, polisi tidak bisa menindaklanjuti kasus KDRT yang laporannya dicabut.

“Beberapa kasus KDRT berujung meninggal. Ternyata dia (korban) sudah melapor, lalu (laporan) dicabut. Polisi sudah tidak bisa ngapa-ngapain (menindaklanjuti kasus) karena ini delik aduan,” kata Eni Widiyanti.

Sementara situasi KDRT terus terjadi terhadap korban dan siklusnya yang berulang terus meningkat. “Yang tadinya dipukuli, lama-lama digorok, meninggal-lah korban,” katanya.

Pihaknya juga menyoroti kasus lainnya, di mana istri dari perkawinan siri tidak bisa diproses dengan menggunakan UU PKDRT.

“Ini perbedaan penafsiran. Padahal suami, istri, anak, orang tua, kakek, nenek, paman, bibi, bahkan pekerja rumah tangga, supir, tukang kebun yang tinggal di rumah yang sama, bisa (diproses dengan UU PKDRT), termasuk istri siri,” kata Eni Widiyanti. (ant/nis/bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 16 November 2024
34o
Kurs