Joko Widodo Presiden meresmikan Layanan Perizinan Penyelenggara Event di The Tribrata Darmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Senin (26/6/2024).
Dalam pidato arahannya di hadapan Kapolri dan sejumlah menteri yang hadir, Presiden menyinggung ruwetnya mengurus perizinan acara selama ini, baik yang berskala nasional mau pun internasional.
Jokowi menyebut contoh event MotoGP di Mandalika, yang memberikan dampak ekonomi sebanyak Rp4,3 triliun, menyerap sekitar delapan ribu tenaga kerja, dan melibatkan seribuan UMKM, memerlukan sekitar 13 surat izin.
Akan tetapi, izin penyelenggaraan acara yang sudah terbit bisa dibatalkan secara sepihak dari kepolisian dengan alasan keamanan. “Harus punya ini. Kalau tidak, izin-izin itu tadi tidak keluar,” ujarnya.
Presiden berharap, digitalisasi proses perizinan penyelenggaraan event bukan cuma sebatas website layanan saja. Tapi, betul-betul memberi kemudahan pengurusan perizinan, memberikan kepastian, dan memotong birokrasi.
Sehingga, biaya pengurusan izin penyelenggaraan acara lebih murah, lebih terbuka dan transparan.
Menyikapi hal itu, Yusuf Karim Ungsi Ketua Umum DPD Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia (Asperapi) Jawa Timur (Jatim) periode 2023-2026 mengatakan, peluncuran digitalisasi perizinan menjawab persoalan kepastian aturan dan biaya.
“Sebab selama ini kami buta soal sistemnya, tergantung kedekatan dan pendekatan kita. Dengan adanya aturan ini (semuanya) menjadi jelas, memangkas rantai meja perizinan, serta meminimalisir risiko yang terjadi dan menambah pendapatan,” terangnya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (25/6/2024).
Yusuf Karim mengaku mendukung penuh kebijakan ini. Sebab diharapkan semakin banyak event, maka akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dulu, menurut Yusuf Karim, simpul keruwetan adalah masalah biaya, aturan, serta dasar waktunya.
“Kemarin Pak Kapolri kan sudah janji di hadapan Presiden bahwa waktunya 14 hari untuk melakukan assessment,” sebut Yusuf Karim.
Kemudian, besaran biaya keramaian juga bergantung wilayah. Antara wilayah Kalimantan, Jawa, dan Bali itu berbeda tarifnya.
“Kalau dulu, karena tidak ada aturan jelas dan tegas, jadi tergantung ke mereka yang punya tanda tangan,” ungkap Yusuf Kasim.
Yusuf Karim menjelaskan, yang diatur dalam peraturan Kemenkeu terbatas pada kegiatan yang bersifat mendesak, komersial, olahraga dan seni.
“Cuma yang menjadi dilema adalah pertunjukan seni dan olahraga. Kan tidak semuanya komersial, ada yang sifatnya sosial. Kemudian masalah skala. Kalau skalanya belum besar, kalau diterapkan sesuai aturan, jelas tidak mampu,” kata Yusuf Karim.
Ia menyorot bahwa kendala akan muncul di kegiatan seni yang lokal. Sebab harganya tidak semahal kegiatan seni skala internasional. Sebab di sana juga ada potensi ancaman.
“Jangankan konser musik, pertunjukan budaya yang menutup jalan, ada risiko ancaman dan keamanan. Padahal acara itu tidak komersial. Jadi harus ada penjelasan yang komprehensif soal komersil itu,” harapnya. (saf/faz)