Jumat, 22 November 2024

Akademisi Sorot Tunangan Bocah di Madura, Sebut Lebih Banyak Dampak Negatifnya

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Ilustrasi - Seorang pria memasangkan cicin di jari seorang wanita. Foto: iStock

Holy Ichda Wahyuni Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya angkat bicara soal viralnya video pertunangan bocah berusia 4 tahun di Madura, Jawa Timur.

Holy menyebut, dalam unggahan video yang menayangkan seorang bocah perempuan menggunakan make up bersalaman dengan sejumlah tamu undangan yang hadir, serta memperlihatkan cincin tunangannya itu, berpotensi merugikan anak-anak, khususnya pihak perempuan.

“Tidak menutup kemungkinan, jika pertunangan akan mendorong percepatan pernikahan, pasalnya pertunangan di usia dini maka praktis pernikahannya akan dilakukan di usia yang belum matang,” katanya pada Rabu (24/4/2024).

Meskipun orang tua anak telah memberikan klarifikasi, setelah ramai diperbincangkan di media sosial, dengan menyebut bahwa tunangan tersebut merupakan bentuk komitmen dan tradisi, serta sang anak akan dinikahkan kelak setelah lulus kuliah, tetapi ia menyatakan bahwa hal itu memberikan beberapa risiko.

Risiko tersebut, lanjut dia, menambah angka perceraian, berpotensi menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga atau kesulitan mencapai impian, karena telah diberi tanggung jawab perkawinan dalam waktu yang cepat.

Berdasarkan data yang dirilis Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KBP3A) Bangkalan, sejak tahun 2022 tercatat, angka pernikahan dini di Madura terus mengalami peningkatan, kenaikannya mencapai 1,71 persen setiap tahunnya.

Menurutnya, data tersebut, sudah seharusnya menjadi sebuah keprihatinan semua pihak. Karena dampaknya bukan saja bisa merampas hak-hak dasar anak perempuan dan laki-laki untuk belajar, berkembang dan menjadi anak-anak seutuhnya. Tetapi, juga berpotensi membuka pintu bagi terjadinya berbagai tindak kekerasan bahkan menganggu psikologis.

“Tidak mustahil terjadi, anak perempuan yang seharusnya masih menghabiskan waktunya untuk bersekolah dan bermain, kemudian dinilai sudah pantas berumah tangga akhirnya ia kehilangan peluang karier dan menghambat pengembangan potensi ekonomi anak di masa depan,” ucapnya.

Ia juga menjelaskan, bahwa survei United Nations Children’s Fund (UNICEF) menunjukkan jika tradisi agama, kemiskinan, ketidaksetaraan gender, dan ketidakamanan karena konflik adalah alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak-anak di Indonesia.

Lebih lanjut, ia mengatakan meski pertunangan dini di Madura identik dengan pertalian sedarah atau untuk mempererat kekerabatan, namun alangkah lebih baik tradisi tersebut dihindari. Karena, lebih banyak menghadirkan dampak negatif daripada dampak positifnya.

Peneliti dan pemerhati anak itu menyatakan, saat ini juga perlu kampanye yang masif dari semua pihak, baik dari tokoh agama, pendidikan maupun keluarga, untuk mencegah hal tersebut.

“Untuk mendorong Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang ideal, salah satu hal yang harus diperangi adalah tradisi-tradisi yang dianggap merugikan. Sehingga menurut saya, pertunangan dini ini perlu dihilangkan, sebab lebih banyak dampak negatifnya dari pada dampak positifnya,” pungkasnya. (ris/saf/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs