Sejumlah peternak sapi hingga pengepul susu di Pasuruan membuang ratusan ribu liter susu sebagai protes pembatasan kuota pengiriman susu ke pabrik pengolahan. Sejak akhir September 2024, pasokan susu mereka dibatasi dari 70 ton menjadi 40 ton per hari, berdampak pada kiriman susu peternak di Jawa Timur dan Jawa Barat.
Aksi serupa juga terjadi di daerah lain seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat, dengan total sekitar 160 ton susu terbuang. Meskipun harga susu peternak masih stabil, Pemprov Jatim melalui Adhy Karyono Pj Gubernur Jatim berjanji akan menelusuri masalah ini dan bertemu dengan pihak pabrik pengolahan.
Dewan Persusuan Nasional mengkritik tidak diserapnya susu segar oleh Industri Pengolah Susu (IPS) dan mendesak pemerintah untuk menerbitkan regulasi yang melindungi peternak sapi perah rakyat.
Mereka juga meminta diberlakukannya kembali kebijakan rasio impor susu terkait dengan penyerapan susu segar, serta pembentukan Badan Persusuan Nasional untuk mendukung swasembada produksi susu.
BACA JUGA: Pj Gubernur Jatim akan Benahi Persoalan Peternak di Pasuruan yang Protes Membuang Susu
Menyikapi hal itu, David Hermawan ahli pertanian dan peternakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan jika pembuangan susu yang terjadi di beberapa wilayah bukanlah masalah yang bersifat umum.
“Ini hanya salah satu case. Tidak semua peternak susu di Indonesia, termasuk di Jawa Timur dan Jawa Tengah, membuang susunya. Yang di Boyolali itu case-nya adalah pajak dan SDM, lalu yang di Pasuruan juga tidak semua membuang susunya. Yang melakukan hanya beberapa supplier saja,” terang David ketika mengudara dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (12/11/2024).
Di Pasuruan, misalnya, pembuangan susu terjadi karena adanya perbedaan standar kualitas antara peternak dan Industri Pengolah Susu (IPS).
Ia menyebut peternak susu di Pasuruan disebut tidak memenuhi standar operasional prosedur (SOP) perusahaan, meskipun susu mereka sudah terstandarisasi dengan SNI (Standar Nasional Indonesia).
Berdasarkan analisisnya, beberapa pemasok melaporkan adanya campuran bahan tambahan dalam susu yang dikirimkan ke pabrik pengolahan, seperti gula atau minyak. Ini dianggap tidak sesuai dengan standar kualitas susu yang ditetapkan oleh IPS.
David juga mengungkapkan, sekitar 80-90 persen peternak sapi perah di Indonesia berusia di atas 56 tahun. Hal ini menjadi tantangan besar dalam meningkatkan produktivitas dan kualitas susu.
“Jadi, menurut saya, kasus ini jangan di generalisasi secara keseluruhan. Meskipun harus diperbaiki,” tegas Dewan Pembina Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Ilmu Pertanian Indonesia (APTS-IPI) ini.
Sebagai solusi, David menekankan pentingnya pembinaan kepada peternak, terutama mengenai cara yang tepat untuk mengelola susu agar memenuhi standar kualitas.
Peternak juga harus diberikan pelatihan untuk tidak mengandalkan cara-cara yang tidak sesuai, seperti mencampur susu dengan bahan lain.
David juga berharap ada pembenahan dalam sistem pengelolaan susu di Indonesia, termasuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan kapasitas peternak.
Ia juga mendukung pernyataan Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa produksi susu domestik harus diserap terlebih dahulu oleh industri pengolahan susu sebelum mengambil pasokan dari luar negeri.
Hal ini dianggap penting untuk meningkatkan kesejahteraan peternak dan menjaga kemandirian pasokan susu di tanah air.
Ke depan, semua pihak, baik pemerintah, pabrik pengolahan, maupun peternak, diharapkan dapat bekerja sama untuk mengatasi masalah ini. (saf/ham)