Jumat, 22 November 2024

Akademisi Harap Ada Evaluasi Merdeka Belajar di Pemerintahan Prabowo-Gibran

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Prabowo Subianto Presiden ke-8 Republik Indonesia menyampaikan pidato selepas Sidang Paripurna MPR RI di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Minggu (20/10/2024). Foto: Istimewa

Achmad Hidayatullah dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, berharap ada evaluasi terkait program Merdeka Belajar di pemerintahan baru saat ini.

Dayat, sapaan akrabnya, menilai bahwa secara umum, kurikulum Merdeka yang ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya tidak membuat pendidikan lebih merdeka. Menurutnya, kurikulum tersebut justru membuat kerja dosen dan guru lebih berat dan sibuk dengan masalah administrasi.

“Mereka lebih sibuk karena beban administrasi yang mengancam kepangkatan daripada meningkatkan kualitas diri dan siswa,” katanya kepada suarasurabaya.net pada Selasa (22/10/2024).

Ia mengatakan bahwa kurikulum tersebut memang berupaya untuk membentuk karakter siswa, seperti belajar yang mandiri, memiliki attitude, motivasi, hingga mampu berpikir kritis.

Tetapi, beberapa kewajiban guru untuk mengisi e-kinerja di Platform Merdeka Mengajar (PMM) membuat guru tidak punya waktu untuk meningkatkan kreativitas.

Bahkan, kata dia, dorongan penggunaan PMM dan e-kinerja tersebut semakin membuat jarak antara sekolah daerah dan perkotaan, karena infrastruktur yang tidak mendukung.

“Perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia yang menjadi harapan masyarakat perlu mendapatkan perhatian serius,” ujarnya.

Kritik lainnya untuk Merdeka Belajar, yakni menurutnya pendidikan menjadi semakin mahal dan mengabaikan kualitas.

Pemerintah memang telah berupaya, kata dia, dalam memberi akses yang luas untuk pendidikan tinggi dengan dukungan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIPK) bagi mereka yang kurang mampu secara ekonomi.

Tetapi, ia menegaskan bahwa rakyat tidak benar-benar merdeka untuk mengakses pendidikan tinggi, karena biaya kuliah semakin tinggi.

“Bahkan perguruan tinggi juga dibuat sebebas-bebasnya berkompetisi satu sama lain seperti dalam pasar bebas. Sehingga dampaknya, perguruan tinggi selain semakin mahal, kualitasnya semakin terpinggirkan, karena mereka lebih mementingkan aspek ekonomi dengan menerima mahasiswa seluas-luasnya dengan biaya yang mahal,” jelasnya.

“Oleh karena itu, beberapa kebijakan dalam kurikulum tersebut perlu dievaluasi dengan serius,” tegasnya.

Lebih lanjut, beberapa program unggulan menurutnya juga tidak memiliki standar kualitas yang jelas. Contohnya, program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) yang memberikan beasiswa pengalaman belajar di luar negeri.

Ia menyebutkan bahwa program yang singkat ini tidak memiliki pola seleksi yang jelas dan tidak pro keadilan sosial, khususnya bagi mereka yang berasal dari kalangan ekonomi yang lemah.

“Bahkan program ini menelan biaya besar. Akan lebih baik jika program ini dihapus dan biayanya dialihkan untuk memperkuat program KIPK dan menaikkan besaran beasiswa bagi mereka yang kuliah di luar negeri,” ucapnya.

“Karena di tengah kondisi global yang semakin kritis, biaya hidup di luar negeri mahal, dan beasiswa yang diterima mahasiswa Indonesia tidak cukup untuk membuat mahasiswa hidup layak selama belajar,” imbuhnya.

Seperti diketahui, di pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka saat ini, ada pemecahan kementerian pendidikan. Jika sebelumnya bernama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), saat ini menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendiknas), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti), dan Kementerian Kebudayaan. (ris/saf/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs