Generasi Z (Genzi), lapisan masyarakat dengan rentang usia 15-24 tahun lagi-lagi jadi sorotan. Badan Pusat Statistik (BPS) mecatat pada tahun 2023, sebanyak 9,9 juta orang dalam generasi tersebut masuk dalam kategori tidak sedang belajar, bekerja, dan dalam pelatihan atau not in education, employment, and training (NEET).
Kalau dihitung secara keseluruhan, jumlah masyarakat muda berstatus NEET itu setara dengan 22,25 persen dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional pada Agustus 2023 sebanyak 44,47 juta.
Adapun beberapa pihak menyebut faktor para Genzi itu menjadi NEET, di antaranya mulai dari salah jurusan di perkuliahan, hingga terlalu pilih-pilih soal model pekerjaan yang diinginkan, tanpa melihat fakta dan peta persaingan yang ada, hingga yang terakhir para penyandang disabilitas.
Hal senada juga disampaikan Marliana Junaedi dosen dan pengamat Sumber Daya Manusia (SDM) Universitas Widya Mandala (WM) Surabaya, waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya FM 100.
“Sering kali keterampilan yang didapat selama menempuh pendidikan/kuliah tidak sesuai dengan yang diminta oleh dunia bisnis. Sehingga hal ini masih tugas dari dunia pendidikan untuk memetakan apa yang dibutuhkan di dunia bisnis,” ujar Marliana, Senin (28/5/2024).
Hal tersebut menurutnya didukung adanya kecenderungan dari masyarakat saat ini yang meremehkan para Genzi, dengan menyebutnya sebagai generasi stroberi, atau mudah menyerah (lemah).
Masih soal pendidikan, Marliana mengungkapkan tidak semuanya memberi fasilitas dan membuka diri tentang kebutuhan Genzi yang jadi generasi penerus di masa depan.
Banyak metode pendidikan yang masih menerapkan old fashion atau gaya lama. Padahal wawasan para Genzi menurutnya juga terkadang lebih luas dari guru atau pengajarnya, dengan tingginya waktu untuk mengakses dunia internet.
Selain itu, lanjutnya, ada faktor-faktor lain seperti pengaruh dari keluarga khususnya orang tua yang menanamkan dan memaksakan keinginan mereka kepada anak-anaknya, sehingga para Genzi yang masuk dalam NEET tersebut terpaku dan tidak bisa bebas menentukan keinginannya.
“Saya tidak menyalahkan orang tua 100 persen, karena saya sendiri juga merasakan sebagai orang tua harus berjuang untuk anak-anak kami. Tapi kita harus mencoba memberi waktu pada anak-anak untuk berkomunikasi lebih terbuka, sehingga kita tahu kekhawatiran mereka itu apa, kesulitan mereka apa, seperti itu,” ujarnya.
Di sisi lain, pengamat SDM WM Surabaya itu juga mengakui mindset Genzi yang paling disorot saat mencari kerja, antara lain soal work life balance, masih belum sepenuhnya match dengan dunia bisnis saat ini.
“Kalau pas kerja ya kerja. Pas mereka butuh break ya break. Belum semua perusahaan menerapkan sistem seperti itu. Masih banyak perusahaan itu dikuasai generasi sebelumnya yang memakai kacamata mereka (Genzi). Nah ini yang memang harus ada keterbukaan begitu ya dari generasi yang lama,” tuturnya.
Meski demikian, Marliana menyebut dari segi kualifikasi para Genzi sebetulnya sangat luar biasa, dan bisa cepat dalam mengerjakan sesuatu. Meski memang setelah pekerjaan selesai, para Genzi kebanyakan ditemui lebih memilih untuk bermain game atau healing.
Pemerintah saat ini mempunyai target menuju Indonesia Emas 2045, tapi dengan data BPS yang menunjukan hampir 10 juta Genzi menganggur atau menjadi NEET, harus ada perubahan atau evaluasi baik dari dunia pendidikan, usaha, pemerintah, maupun keluarga.
“Dari sisi keluarga, usahakan mendampingi jangan mendikte. Kalau dari dunia pendidikan, cobalah untuk mengeluarkan kreatifitas terbaik dari mereka, apalagi kita juga masih punya gen Alpha (generasi kelahiran 2010-2020). Kalau dari pemerintah sih yang pasti ubah regulasi ya,” pungkasnya. (bil/ham)