Jumat, 22 November 2024

WWF Indonesia: Perburuan Liar Satwa Dilindungi Adalah Kejahatan Serius

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan
Barang bukti satwa dilindungi sebanyak 31 ekor burung Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) dan satu ekor Nuri Bayan (Eclectus roratus) korban perburuan liar yang diamankan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sulawesi, di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Sabtu (4/11/2023). Foto: Antara Barang bukti satwa dilindungi sebanyak 31 ekor burung Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) dan satu ekor Nuri Bayan (Eclectus roratus) korban perburuan liar yang diamankan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sulawesi, di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Sabtu (4/11/2023). Foto: Antara

Yayasan konservasi WWF Indonesia menegaskan praktik perburuan liar satwa dilindungi adalah kejahatan serius sehingga dibutuhkan komitmen konkret dari lembaga pemerintah terkait untuk menghentikannya.

“Terus terang susah berbicara tentang fenomena ini kami prihatin sekali dan menganggapnya kejahatan serius,” kata Aditya Bayunanda Direktur Utama Yayasan konservasi WWF Indonesia di Jakarta, Kamis (9/11/2023).

Melansir dari Antara, menurutnya, perburuan menjadi kejahatan serius karena dampaknya yang besar bukan hanya menyebabkan kepunahan spesies tertentu namun juga mengganggu rantai ekosistem di hutan.

Gangguan tersebut berimplikasi terhadap beberapa hal yang umum dirasakan masyarakat di sekitar kawasan hutan Sumatera dan Kalimantan. Di antaranya seperti kebun warga rusak akibat hama babi yang populasi meningkat karena keberadaan pemangsanya seperti harimau kian langka di hutan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melaporkan sepanjang tahun 2023 telah terjadi 1.098 kasus perburuan liar satwa dilindungi di Indonesia.

Meski tidak secara spesifik menyebutkan jenis satwa apa saja yang menjadi korban perburuan, namun data tersebut setidaknya menunjukkan alasan keprihatinan pihak yayasan konservasi internasional tertua di Indonesia itu.

Aditya menjelaskan, rendahnya ancaman hukuman bagi pelaku perburuan menjadi salah satu penyebab kasus ini masih tergolong tinggi.

Perburuan satwa yang dilindungi diatur dalam Pasal 21 ayat (2) huruf (a) Undang-undang (UU) nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, Hayati dan Ekosistemnya.

Dalam UU tersebut diberlakukan sanksi berupa kurungan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

“Itu pun bisa remisi, bisa-bisa sisa hukumannya 1-2 tahun penjara. Maka terlalu lunak belum menimbulkan efek jera terhadap pelaku perburuan tak sebanding dengan kerusakan yang mereka buat,” kata dia.

Atas dasar itu pihaknya menilai sangat mungkin lembaga pemerintah untuk melakukan revisi UU tersebut dan menambah bentuk hukumannya.

Di sisi lain, ia menyebutkan, lembaga nya sangat mengapresiasi komitmen pemerintah yang di antaranya melalui Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK yang terus menggencarkan operasi penangkapan pelaku perburuan, penyelundupan dan penyelamatan satwa dilindungi yang menjadi korban.

Terakhir dilakukan tim Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi yang berhasil menangkap seorang pelaku kasus dugaan perburuan dan penyelundupan satwa dilindungi, berinisial LMS (40), di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, Sabtu (4/11/2023).

Pada saat penangkapan tim tersebut juga berhasil mengamankan 31 ekor burung Kakatua Jambul Kuning (Cacatua sulphurea) dan satu ekor Nuri Bayan (Eclectus roratus) yang dilindungi.(ant/mel/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs