Radio, diprediksi akan mengalami masa kejayaan sebagai media arus utama kembali, di tengah maraknya kehadiran media baru. Suko Widodo pakar komunikasi Universitas Airlangga (Unair) mengatakan lima hingga sepuluh tahun kedepan, radio akan kembali menjadi media arus utama.
“Saya rasa tidak sampai sepuluh tahun lagi, radio akan kembali berjaya menjadi media arus utama. Orang sudah lelah dengan visual, dan radio bisa didengarkan kapan saja,” terangnya saat berbincang di Wawasan Suara Surabaya, Senin (13/2/2023) memperingati Word Radio Day.
Seperti diketahui, radio saat ini sudah berusia lebih 120 tahun sejak pertama kali ditemukan oleh Guglielmo Marconi fisikawan asal Italia, pada 1901 silam.
Media konvensional tersebut, sampai saat ini masih eksis meskipun perkembangan teknologi digital terus berkembang. Dimana isu bahwa radio ditinggalkan pendengarnya terus dimunculkan.
Bahkan, hasil survei terbaru tim penelitian dan pengembangan (Litbang) Kompas akhir Januari sampai awal Februari 2023, dengan jumlah 1000 lebih responden dari 38 provinsi Indonesia menunjukan, peserta yang mengakses radio untuk mencari informasi hanya ada 1,3 persen.
Tertinggi yakni televisi dengan 53,2 persen, disusul dengan media sosial 20,9 persen, situs berita online 13,1 persen, media cetak 4,2 persen, dan 7,3 persennya belum menentukan pilihan. Hasil survei itu tentu akan mempengaruhi bisnis radio itu sendiri.
Menurut Suko Widodo pakar komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Radio justru akan jadi media arus utama yang diminati Gen Z (generasi kelahiran 1996-2009) yang sudah mulai jenuh dengan visualisasi.
Bergantung pada visualisasi yang berlebihan, kata Suko, akan cenderung mengarah ke pembodohan karena terlalu memanjakan audience-nya, yang tidak dibiarkan untuk berimajinasi. Hal tersebut tidak cocok dengan karakter Gen Z yang punya rasa ingin tahu tinggi dan imajinatif.
“Mendengarkan radio membuat orang cerdas, karena otaknya menjadi aktif berimajinasi. Istimewanya, bisa dinikmati tanpa meninggalkan aktivitas rutin seperti sambil bekerja, masak, belajar dan lain lain. Jadi pendengar radio itu rata-rata orang cerdas, kritis dan tidak mudah kena hoax,” ungkap Suko pada program Wawasan Suara Surabaya, Senin (13/2/2023).
Suko menganggap kalau radio harus tetap concern pada kekuatan imajinatif , sehingga harusnya tetap berpegang pada “didengar bukan dilihat”. Sementnara saat ini banyak media yang beralih ke konvergensi digital termasuk merambah ke sisi visual.
“Radio tidak perlu dilihat. (Akan mematikan dramatisasi) betul, konsep itu yang seharusnya dipertahankan,” ujarnya.
Sementara terkait perkembangan teknologi digital yang makin lama dinilai bisa menggerus bisnis dunia radio, Pakar Komunikasi Unair itu menyebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat, asal pelaku radio sendiri mau berinovasi. “Radio itu (banyak) yang mati karena dijalankan dan dibuat ala kadarnya saja, tidak inovatif,” pungkasnya.
Sebagai informasi, tepat pada hari ini Senin 13 Februari, diperingati sebagai Hari Radio Sedunia “World Radio Day“. Penetapan tersebut dilakukan oleh Unesco selaku organisasi internasional PBB di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, pada tahun 2011 silam. (bil/rst)