Setidaknya 27 ribuan orang Indonesia setiap tahun terlahir dengan mikrotia atau kelainan daun telinga. Penyebab terbesar karena tak hati-hati saat trimester pertama kehamilan.
Dokter Indri Lakhsmi Putri Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi menyebut, secara statistik angka bayi terlahir mikrotia 1:10.000 penduduk tiap tahun.
“Kalau 270 juta penduduk di Indonesia ya berarti 27 ribu. Statistik malah lebih tinggi,” katanya dalam acara Enam Tahun Bersama Keluarga Mikrotia Indonesia di Surabaya, Minggu (25/6/2023).
Kelainan daun telinga, tidak lengkap atau jenis ukuran lebih kecil, dapat terjadi karena dua faktor, yakni keturunan dan mutasi kelainan genetik waktu hamil.
Faktor keturunan, menurut Putri, tidak terlalu dominan. Banyak kasus justru didominasi faktor risiko tinggi ketika hamil, terutama di trimester pertama kehamilan.
“Ibu hamil usia 35 tahun lebih berisiko tinggi. Apalagi pas Covid-19, harusnya skrining TORCH. Apakah ada stres fisik dan psikis, atau bekerja dan sering terpapar radiasi, atau ada obat-obat yang bahaya untuk ibu hamil. (Faktor ini) 50 persen lebih menyebabkan bayi terlahir mikrotia,” tuturnya.
Pencegahan yang bisa dilakukan, dengan melakukan pemeriksaan untuk persiapan kehamilan, bukan saat sudah tahu sedang mengandung.
Langkah paling mudah, dan yang harus dilakukan, adalah tes toxoplasma, other infection (infeksi lain), rubella, cytomegalovirus, dan herpes simplex (TORCH).
“Harus jaga kehamilannya. Pendidikan seks harus baik. Kehamilan yang tidak diinginkan, berpotensi bikin sesuatu di janin,” jelasnya.
Sementara itu, Rosa Falerina Dokter Spesialis telinga, hidung, tenggorokan, bedah kepala dan leher (THT-BKL) membeberkan, kelainan daun telinga itu baru bisa diketahui saat lahir. Langkah tercepat, bayi usia dua hari, harus langsung dilakukan skrining.
Bayi mikrotia yang satu sisinya normal, bisa dilakukan skrining pendengaran acoustic emission untuk mengetahui fungsi rumah siput.
Lalu pada usia dua bulan dilakukan pemeriksaan Brain Evoked Response Auditory (BERA) untuk mengetahui fungsi pendengaran, fungsi yang mikrotia dan yang tidak mikrotia.
Pada pemeriksaan usia dua bulan, bagi bayi yang ditetapkan mengalami kelainan daun telinga hingga menyebabkan gangguan pendengaran berat dan sangat berat, diperlukan alat bantu dengar.
“Bukan alat yang biasa, tujuannya untuk mengeraskan suara dari luar. Sehingga anak bisa belajar berbicara sesuai usia tidak terlambat, harapannya,” ujarnya.
Kemudian ketika menginjak usia enam tahun baru bisa dilakukan operasi rekonstruksi daun telinga untuk membentuk sesuai normalnya.
“Syarat lingkar dada 60 centimeter. Usia tertua kita pernah melakukan 55 tahun. Tapi semakin muda, lebih mudah. Karena elastisitas tulang iga lebih elastis untuk donor jadi pembentukan daun telinga lebih mudah,” tuturnya.
Tingkat keberhasilan operasi adalah 80 persen. Asalkan tidak ada kebiasaan hidup buruk seperti terpapar perokok aktif maupun pasif yang bisa menyebabkan komplikasi pascaoperasi. (lta/saf)