Harga tiket konser band luar negeri yang manggung di Indonesia sedang jadi perbincangan hangat di media sosial, sebab harga tiket konser di Indonesia itu, dinilai kelewat mahal dibandingkan negara-negara tetangga.
Contohnya harga tiket Coldplay di Singapura pada Januari 2024 mendatang, yang berkisar antara 68 dolar Singapura (sekitar Rp760 ribu) hingga 398 dolar Singapura (sekitar Rp 4,4 juta). Tiket konser yang awalnya hanya dua hari itu pun ludes terjuaBiddil dalam waktu singkat, sampai-sampai Live Nation selaku promotor yang mendatangkan Coldplay ke Singapura menambah jadwal konser sampai dua hari.
Warganet Tanah Air, lantas membandingkan harga tiket konser di Indonesia November 2023 mendatang yang dijual mulai Rp800 ribu hingga Rp11 juta (festival). Masyarakat kemudian ada yang menganggap promotor Tanah Air mengambil keuntungan besar dari harga tiket tersebut.
Terkait hal ini, Bagas Indyatmono pengurus Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI) membenarkan harga tiket band-band luar negeri yang manggung ke Indonesia itu lebih mahal dari negara tetangga. Namun, ada alasan di balik mahalnya harga tiket tersebut, seperti faktor infrastruktur yang mencakup tidak hanya logistik, namun juga administrasi/perizinan yang biayanya sangat tinggi.
“Dari penyelenggaraan event itu juga perizinan berlapis-lapis di Indonesia. Ini akhirnya juga membuat banyak ketidakpastian terkait biaya untuk perizinan itu berapa sih? misalkan skala penonton lebih dari 10 ribu atau di bawahnya itu sama atau tidak? itu yang sekarang coba kami konsolidasikan dengan berbagai pihak,” jelas Bagas saat mengudara di Program Wawasan Suara Surabaya, Rabu (21/6/2023).
Sementara di negara lain seperti Singapura, lanjutnya, mengurus perizinan untuk konser besar sukup hanya melewati satu pintu dan sudah paten proses administrasinya.
Bagas yang juga Direktur Jazz Gunung itu kemudian mengungkapkan kesulitan sebagai seorang promotor. Dimana sebelum mendatangkan artis mereka lebih dulu melakukan bidding (penawaran) untuk meyakinkan band-band tersebut mau ke Indonesia.
“Contohnya, untuk meminta Coldplay datang ke Indonesia diantara tournya ke beberapa negara, promotor harus melakukan bidding yang panjang,” katanya.
Karena itu Bagas meminta pemerintah ikut membenahi regulisi perijinan mengelar konser dengan prosedur yang jelas dan tidak berbelit.
Selain soal ijin, beberaoa artist/musisi ragu untuk datang ke Indonesia, karena infrastruktur dan biaya. Saat melakukan tur skala global, band besar seperti Coldplay biasanya akan membawa perlengkapan dalam jumlah banyak yang dimuat didalam kontainer.
“Saat kontainer penuh alat tadi mendarat di pelabuhan sampai ke stadion, itu pasti memerlukan koordinasi sana-sini. Kalau di Singapura itu sudah lebih efisien, jadi cost (biaya) bisa terhitung dengan baik. Sementara di Indonesia, kita sebagai pelaku (promotor) tidak menyebutnya pungli sih, tapi memang ada banyak itu hal diluar struktur yang biasanya minta (biaya tambahan) untuk memuluskan pekerjaan,” ungkapnya.
Oleh karenanya, Bagas berharap agar ada keterlibatan lebih dari pemerintah, segera mencari jalan keluar dari masalah ini. Dia tak memungkiri kalau banyak promotor luar negeri yang mempromosikan konser dengan tiket lebih murah mereka ke masyarakat Indonesia.”Akibatnya ada putaran ekonomi yang harus kita relakan pergi ke luar negeri begitu,” imbuhnya.
“Sebetulnya kami dengan Kemenparekraf (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif) sudah intens koordinasi dengan pihak lain mengatasi hal seperti ini. Karena bukan cuma Kemenparekraf, ada kementerian dan departemen lain soal masalah ini,” lanjutnya.
Di sisi lain soal pihak-pihak yang menyebut promotor Tanah Air cari profit besar dengan menjual tiket lebih mahal dari negara lain, menurut Bagas, bisa saja yang berkomentar itu belum pernah terlibat atau jadi promotor konser besar.
“Bisa jadi kami malah babak belur untuk menyelenggarakan. Karena tadi saya bilang kita harus bidding, musisi yang memang mau tur ke Asia terus kita rayu agar mau ke Indonesia itu konsepnya ya Wani Piro? (berani bayar berapa?),” jelasnya.
Bahkan, terkadang pihak manajemen artist/musisisi luar negeri akan melihat dulu portofolio dari promotor yang akan mengundang mereka. Dia menjelaskan pihak manajemen tidak akan menerima tawaran dari promotor yang belum punya pengalaman menyelenggarakan event skala besar.
“Untuk itu kami juga mendirikan APMI, yang bisa menjadikan tolak ukur. Kami (promotor) kalau bisa murah, pasti akan kasih murah kok. Tapi kan keadannya memang belum bisa seperti itu,” pungkasnya. (bil/rst)