Jumat, 22 November 2024

Tetirah Volendam, Pertemuan Budaya yang Membentuk Desa Wisata Kosmopolit

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Suasana desa wisata Volendam, Belanda, lengkap dengan tampilan fisik bangunan yang khas dan beberapa wisatawan sedang menikmati kedai-kedai yang berjejer. Foto: Eddy suarasurabaya.net

Sejarah desa wisata ini cukup panjang, dimulai tahun 1350 saat komunitas warga kawasan Edam yang bermukim di Teluk IJ menggali kanal yang lebih pendek ke Zuiderzee. Dengan terbendungnya Pelabuhan Edam dan reklamasi di teluk tersebut, makin lama kawasan itu berkembang. Nama Volendam sendiri pada gilirannya muncul sebagai sejarah kawasan, yang artinya “Bendungan Yang Berisi”. Jaraknya sekitar 90-an km dari Kota Den Haag dan dapat ditempuh naik mobil dalam waktu 1,5 jam ke Utara.

Penduduk desa ini mulanya adalah nelayan penangkap ikan, tapi semenjak berdirinya perusahaan penyeberangan bermesin uap, perannya jadi strategis; menghubungkan kawasan penangkapan ikan di teluk IJ yang berpusat di Pulau Marken dengan pasar di Belanda bagian Selatan (termasuk Amsterdam dan Den Haag). Sejak itu, berangsur penduduknya pun beralih menjadi pedagang, antara abad ke-16 dan 17.

Desa Volendam pun jadi makin kosmopolit karena jadi pertemuan ekonomi, sosial, dan budaya di Eropa Barat. Ini terlihat diantaranya dari arsitekturnya yang mengadopsi gaya Bavaria-Jerman dan tradisi kuliner kejunya yg dipengaruhi Swiss. Ditambah lagi, kawasan ini jadi tujuan tetirah tokoh-tokoh berpengaruh seni seperti Renoir dan Picasso. Beberapa masterpiece seni lahir dari inspirasi desa ini.

Selain tampilan fisik bangunan yang khas, pakaian tradisional Volendam juga tidak kalah unik. Pakaian mereka tidak sama dengan pakaian tradisi warga Belanda lainnya. Yang perempuan mengenakan rok panjang dengan penutup kepala putih, sedangkan yang pria bergaya pakaian celana dan baju berlapis berguna untuk menahan angin dan cuaca dingin saat melaut. Meskipun minoritas, pakaian tradisional Volendam ini dijadikan ikon untuk pariwisata Belanda.

Bahasa mereka pun punya dialek khas yang dikenal sebagai dialek Volendams. Dialek ini dipakai sehari-hari oleh sekitar 21 ribu warga lokal Volendam, dan menurut warga Belanda lainnya, dialek ini tergolong sulit dipahami mereka.

Sebagai desa wisata berbasis produksi laut, kuliner mereka tidak lepas dari ikan dan berbagai tangkapan laut lainnya. Yang cukup terkenal adalah gorengan ikan kibbeling dan harring. Bisa juga disajikan mentah, sama seperti sashiminya Jepang, tentu saja dengan topping khas mereka, keju dan turunannya. Kekayaan kuliner ikan ini tersaji bersama budaya “cangkruk” di bar atau pub ditemani bir dingin Heineken buatan Amsterdam atau Stiegl buatan Salzburg.

Volendam juga punya pabrik keju sendiri. Berdiri sejak 1853 dan jadi salah satu keju terenak di Eropa bersama keju Swiss atau Jerman.

Semua yang disebut di atas tersaji dalam atraksi wisata yang lengkap. Narasi yang saya sampaikan ini termuat dalam sejarah lengkap di Museum Volendam yang letaknya lebih ke pedalaman. Sedangkan kuliner keju dan ikan-ikanan tersaji di bibir pantai yang dipenuhi perahu-perahu tradisional dan layar tinggi.

Eddy Prastyo Penulis sekaligus Pemimpin Redaksi Suara Surabaya Media, berpose mengenakan pakaian tradisional Volendam, Belanda. Foto: Eddy suarasurabaya.net

Pakaian tradisional Volendam juga bisa jadi pengalaman visual yang menarik. Saat berkunjung di tepian pantai Volendam ada lebih dari 3 studio foto yang menyediakan jasa tersebut. Di galeri mereka terpampang beberapa wajah yang tidak asing. Selebritas Indonesia termasuk yang paling banyak dipajang di sana. Sebut saja Rano Karno dan Mandra, Maya Rumantir, Kiki Saputri, dan beberapa lainnya yang saya tidak hapal namanya karena nggak pernah nonton sinetron Indonesia🤪.

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
33o
Kurs