Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani 85 kasus tindak pidana korupsi dalam periode 1 Januari hingga 6 Oktober 2023.
Menurut data KPK, kasus terbanyak berupa penyuapan atau gratifikasi dengan jumlah 44 kasus, atau setara 51,76 persen dari jumlah tersebut.
Setelah kasus suap atau gratifikasi, disusul pengadaan barang dan jasa dengan 32 kasus, lalu tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan enam 6 kasus, perintangan proses penyidikan dua kasus, dan pungutan atau pemerasan dengan satu kasus.
Kumbul Kusdwijanto Sudjadi Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK mengungkapkan, pelaku gratifikasi terbanyak berasal dari sektor swasta.
Sejak berdiri sampai September 2023, KPK sudah memproses hukum 1.648 tersangka dengan 141 diantaranya perempuan. Dari sederet kasus suap dan gratifikasi yang ditangani KPK, sebagian di antaranya menggunakan modus melibatkan keluarga.
Menanggapi hal tersebut, Rachmad Kristiono Dwi Susilo, MA, Ph.D Dosen Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menjelaskan, ada dua hal yang harus diperhatikan terkait maraknya gratifikasi di Indonesia.
“Secara historis, korupsi sudah menjadi budaya Indonesia. Bahkan sudah sejak masa penjajahan. Dulu penjajah mengambil upeti dari masyarakat, dan yang mendapat mandat untuk mengumpulkan adalah para pejabat atau semacam lurah. Ternyata para pejabat ini juga upeti dari bangsa sendiri untuk kolonial,” kata Rachmad dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (15/11/2023) pagi.
Menurut Rachmad, jika menggunakan pendekatan sejarah adalah siklus, akan sulit untuk memotong rantai suap. “Apalagi masyarakat semakin permisif. Kurang ada niat memutus dan menyadari bahwa ini adalah perbuatan dosa,” imbuhnya.
Aspek kedua adalah kepantasan sosial. Menurut Rachmad, rasa sungkan menyadari telah melakukan kesalahan makin luntur.
“Sehingga tak sungkan bahwa apa yang dilakukan itu merugikan pihak lain. Termasuk perasaan tepo seliro, tidak ingin merugikan orang lain, itu semakin luntur. Menurut saya pendekatan teologi itu tidak mempan,” sebut Sekretaris Prodi Doktor Sosiologi UMM ini.
Rachmad menambahkan, ketika berbicara mengenai hukuman Tuhan, semuanya serba relatif. Itu bisa diperdebatkan dan tidak akan pernah selesai. Karena berdasarkan penafsiran individu atau kelompok masing-masing.
“Hal ini pula yang terjadi dengan undang-undang. Meski dibuat dengan niatan yang baik, tapi itu bisa ditafsir berdasarkan kepentingan individu atau kelompok masing-masing,” katanya.
“Sebenarnya kalau menggunakan kepantasan sosial, hati nurani, itu bisa dicegah. Hanya saja proses itu tidak bisa dicegah,” imbuh alumnus Hosei University, Jepang itu.
Rachmad menilai bahwa regulasi atau undang-undang di Indonesia sudah baik. Serta dibuat dengan akal yang waras. “Masalahnya ada di implementasi atau pelaksanaan yang dinilai selalu permisif dan selalu ada kompromi,” terangnya.
Ia juga mengamini pernyataan KPK bahwa pelaku gratifikasi terbanyak berasal dari sektor swasta. Menurut Rachmad, hal ini sudah terjadi sejak dulu. Sebab antara penguasa, politisi, dan pengusaha adalah lingkaran yang tidak bisa dipisahkan dan saling kait-mengait. Apalagi sedang tren pengusaha yang menjadi politisi di Indonesia.
“Kadang kita harus memaklumi. Sebab karakter politik Indonesia adalah padat modal. Kalau tidak ada modal, mesti kalah berpolitik. Akhirnya pengusaha menjadi politisi menjadi tren sejak 2004 hingga hari ini,” jelasnya.
Maka, untuk menghentikan, atau setidaknya mereduksi gratifikasi, penegakan hukum harus tegas. Bonus, gratifikasi, atau apapun namanya tidak boleh diterima oleh perangkat atau pejabat negara.
“Hanya saja yang terjadi sekarang kan semua serba boleh. Sehingga ada ongkos formal dan ongkos informal. Memang agak sulit untuk memutus rantai setan ini,” katanya.
Selain itu, menurut Rachmad, ada banyak kepentingan dalam penegakan hukum. Mulai kepentingan politik, keluarga, hingga kepentingan kapitalis. Idealnya, hukum harus tegas dan tidak pandang bulu. Siapapun yang bersalah, entah rakyat atau penguasa, harus diperlakukan sama. (saf/iss)