Kedatangan Timnas Israel ke Piala Dunia U-20 FIFA dapat penolakan dari banyak elemen di Tanah Air, mulai dari masyarakat, pemuka agama, politisi hingga yang terbaru I Wayan Koster Gubernur Bali.
Salah satu dasar penolakan tersebut, yakni solidaritas untuk Palestina yang terus menghadapi aneksasi/penjajahan dan pembunuhan warga-nya oleh Israel.
Hal itu sesuai dengan alinea pertama pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan segala bentuk penjajahan di muka bumi harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan keadilan.
Namun apakah penolakan tersebut sudah sesuai, mengingat turnamen olahraga besar biasanya digaungkan sebagai simbol persahabatan dan sportivitas antar negara? Drs. Vinsensio Dugis Kaprodi Magister Hubungan Internasional Universitas Airlangga (HI Unair) Surabaya punya jawabannya.
Kata Vinsensio, masyarakat harus membedakan konteks event keolahragaan dengan hal yang berbau politik. Apalagi FIFA sebagai penyelenggara event, bukan termasuk international governmental organizations seperti PBB, WHO bahkan NATO.
“Saya kira Masyarakat mustinya diberi enlightment (pencerahan), bahwa itu hal yang berbeda. Bahwa meski ada konstitusi kita (UUD 1945) yang seperti itu, saya kira sikap politik kita terhadap Israel dan Palestina tidak akan berubah karena event olahraga. Olahraga ya olahraga gitu kan,” jelas Vinsensio dalam program Wawasan Suara Surabaya, Kamis (23/3/2023).
Konteks penolakan tersebut, kata dia bisa berangkat dari banyak alasan. Selain ketidakpahaman konteks dari masyarakat, bisa saja karena ada pihak yang memanfaatkan momen untuk kepentingan politik.
Dia mencontohkan pada tahun 2022, delegasi Parlemen Israel datang ke ke Sidang Majelis Ke-144 Inter-Parliamentary Union (IPU) di BICC, Nusa Dua, Bali dan tidak dipermasalahkan seperti sekarang.
Hal serupa juga terjadi pada 2015, saat Misha Zilberman pebulu tangkis Israel tampil di Kejuaraan Dunia BWF di Istora Senayan, Jakarta.
Vinsensius menegaskan, pemerintah harus mempertimbangkan sanksi dari FIFA, jika kedepan memang menolak Israel berlaga di turnamen bergengsi tersebut.
“Luar biasa kerugian kedepan (kalau menolak Israel). Kita juga harus menyadari, dalam kontek tata kelola otoritas dibawahnya, FIFA itu sangat otoritatif. Tentara, sejata, politik itu tidak ada efeknya untuk mereka (FIFA). Menjatuhkan sanksi ya sanksi,” jelasnya.
Dosen HI Unair itu yakin, pemerintah sudah melakukan pembicaraan terkait masalah penolakan ini. Apalagi Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia di Jakarta sebelumnya sudah menyatakan “Tidak Keberatan” atas partisipasi Israel di Piala Dunia U-20 Indonesia.
“Jangan lupa sepak bola ini yang menguntungkan banyak pihak, termasuk Indonesia. Pemain, sponsor dan sebagainya, jangan sampai dikucilkan FIFA. Tugas pemerintah saat ini meng-counter dan menyadarkan publik untuk lebih bisa membedakan mana olahraga dan politik,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Zuhair Al-Shunyang Duta Besar Palestina untuk Indonesia dalam konferensi pers, Rabu (15/3/2023) pekan lalu, telah menegaskan tidak mempersoalkan keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia di Indonesia.
Zuhair menyadari kalau Indonesia hanya memfasilitasi gelaran itu dalam kapasitas sebagai tuan rumah saja. Selain itu, dia menegaskan partisipasi Israel telah sesuai dengan aturan FIFA, dan tidak serta merta melunturkan dukungan Indonesia untuk perjuangan bangsa Palestina.
“Saya ingin memupus keraguan di antara banyak pihak dan ingin menegaskan bahwa berdasarkan apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan, saya meyakini bahwa dukungan Indonesia terhadap isu Palestina tidak pernah berubah,” tegasnya. (bil/rst)