Jumat, 22 November 2024

Sidang Kanjuruhan, PDFI Jatim: Gas Air Mata Tidak Bisa Dideteksi ke Korban Meninggal

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Dokter Nabil Bahasuan Ketua PDFI Jawa Timur waktu menghadiri pemeriksaan saksi ahli di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (24/1/2023). Foto: Wildan suarasurabaya.net

Dokter Nabil Bahasuan Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Jawa Timur waktu menghadiri pemeriksaan saksi ahli dalam sidang kasus tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjelaskan, gas air mata tidak bisa dideteksi kepada korban yang sudah meninggal dunia.

“Kita dari PDFI hanya menyimpulkan, ada ahlinya yang kompetensi. Yang dapat diketahui saat kondisi korban masih hidup seperti mata merah, dampaknya jelas,” ujar Nabil di PN Surabaya, Selasa (24/1/2023).

Untuk diketahui, dokter Nabil dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi ahli untuk dua terdakwa Abdul Haris Ketua Panpel Arema FC dan Suko Sutisno Security Officer.

Kemudian, Sumardhan kuasa hukum Suko Sutrisno sempat bertanya apakah ada perbedaan saat orang meninggal secara wajar dengan keracunan. Nabil mengiyakan kalau ada perbedaan secara fisik dalam tubuh korban.

“Pasti ada, kalau misalnya kasus ini bisa dilihat dari pemeriksaan ada merah-merah dan kehitaman,” ucapnya.

Namun terkait perbedaan orang meninggal keracunan secara pemeriksaan organ dalam, Nabil mengatakan kalau hal itu lebih susah dan tergantung bagaimana kondisinya.

Sederet pertanyaan dari JPU dan Kuasa Hukum tersebut berkaitan dengan hasil forensik kepada NDR (16) dan NDB (13) korban meninggal dalam tragedi Kanjuruhan, yang mana keduanya adalah putri dari Devi Athok.

Hasil autopsi dua korban itu pun disampaikan juga oleh Nabil dalam persidangan, bahwa penyebab putri Devi Athok meninggal itu karena kekerasan benda tumpul.

“Kakaknya itu di tulang iga tidak beraturan sekiar lima rusuk, kita bisa bayangkan itu ada paru kalau tertusuk ada pendarahan dan saya temukan di rongga kanan tadi. Di area dada memang ada tanda kehitaman,” ucapnya.

Nabil melanjutkan, “bisa juga karena mungkin trauma. Makna trauma itu bisa pukulan, injakan, beban berat tapi ada tekanan di rongga tadi. Satunya (adiknya) hampir sama, kalau adiknya itu tulang tengah patah.”

Tragedi kasus Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 pascapertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tercatat sebanyak 135 orang meninggal dunia dan 583 orang lainnya cedera dalam tragedi ini.(wld/dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
34o
Kurs