Sabtu, 23 November 2024

Salon Tua di Surabaya Kembali Merajut Mimpi Seiring Rencana Wisata Kutho Lawas

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Liang Djuen Pau, pemilik Salon Yunita yang berusia 45 tahun di kawasan Kota Tua Surabaya. Foto: Meilita suarasurabaya.net Liang Djuen Pau, pemilik Salon Yunita yang berusia 45 tahun di kawasan Kota Tua Surabaya. Foto: Meilita suarasurabaya.net

Liang Djuen Pau perempuan berdarah China masih mengingat betul kenangan salon miliknya yang diberi nama Yunita sejak 45 tahun lalu.

Wanita kelahiran 1949 itu masih mempertahankan salonnya lengkap dengan furnitur lawas sederhana di tengah perkembangan salon kecantikan modern lainnya.

Meski salon miliknya sudah hampir mati, padahal dulunya jadi primadona terutama bagi kalangan polisi.

Salon kecil yang berada di ruang tamu itu memang satu satunya bangunan rumah di gang kecil Jalan Merpati Kota Surabaya. Tepat berada di belakang Gedung PTPN XI Kota Surabaya dan di samping Polrestabes Surabaya.

“Dulu waktu awal buka ramai, begitu ada plang salon banyak yang ke sini. Satu potong bagus, kesini semua. Awalnya saya di Jalan Tidar lalu nikah pindah di rumah suami saya Liong Wa Fong di sini tahun 1978,” jelas lansia yang akrab disapa Cik Pau saat ditemui suarasurabaya.net, Minggu (22/10/2023) lalu.

Liang Djuen Pau dan salon tua miliknya di kawasan Kota Tua Surabaya. Foto: Meilita suarasurabaya.net
Liang Djuen Pau dan salon tua miliknya di kawasan Kota Tua Surabaya. Foto: Meilita suarasurabaya.net

Suaranya memang sudah berubah lirih seiring menuanya usia. Tapi senyum dan kebahagiannya masih nampak juga terdengar setiap kali diminta menceritakan kejayaan salonnya dulu.

25 tahun yang lalu, salon yang buka sejak pukul 07.30 WIB hingga 17.00 WIB itu seringkali tutup melebihi jam hanya karena menuntaskan pelanggan yang terus berdatangan. Apalagi ketika hari-hari besar.

“Kalau Lebaran itu, saya bisa sampai jam satu malam cuma untuk menuntaskan pelanggan,” tuturnya sambil tertawa.

Semua itu dijalaninya dengan senang. Cik Pau tahu, konsekuensi itu bagian dari profesi yang diimpikannya sejak kecil.

“Saya dari kecil memang bercita-cita punya salon kecantikan. Lucu waktu itu kakak saya perempuan, rambutnya saya putar-putar pakai paku dan lilin yang menyala. Penginnya keriting gantung, eh malah putus semua kakak saya marah,” tutur Cik Pau mengenang kisahnya lagi-lagi tertawa.

Belum lagi lima penghargaan dan sertifikasi keahlian rambut serta makeup yang diperjuangkannya selama setahun sebelum akhirnya memutuskan membuka salon.

“Saya pagi sampai malam sekolah itu. Saya belajar bagaimana soal rambut, make up, syaraf muka untuk make up biar gak asal-asalan,” ucapnya.

Djuen Pao melihat lima piagam penghargaan dan sertifikasi keahlian rambut serta makeupnya yang menggantung di dinding salon tua miliknya. Foto: Meilita suarasurabaya.net
Djuen Pao melihat lima piagam penghargaan dan sertifikasi keahlian rambut serta makeupnya yang menggantung di dinding salon tua miliknya. Foto: Meilita suarasurabaya.net

Pusat kota dan perdagangan yang dulu disematkan di Surabaya Utara, khususnya Jembatan Merah yang hanya berjarak 200 meteran dari salon sekaligus rumahnya itu memang sudah bergeser.

Sepinya kawasan itu jadi salah satu faktor pelanggan salonnya ikut tergerus, disamping kehadiran salon-salon modern lain yang lebih bersaing. Tapi Cik Pau dengan tegas menyatakan, tidak dengan ilmunya.

“Ilmu itu masih melekat, ndak (tidak) bisa ilang (hilang),” ucapnya yakin.

Meski kini, ia tak lagi berharap banyak selain tetap melayani pelanggan yang hanya tinggal satu atau dua dalam sehari. Lebih sering tidak sama sekali.

“Saya juga sudah tua, ndak (tidak) bisa lagi belajar atau les seperti dulu,” ucap Cik Pau yang punggungnya sudah membungkuk sejak bertahun-tahun lalu itu.

“Ini bungkuk ya dulu pernah keseleo, sudah lama, juga sering bungkuk kalau melayani pelanggan,” tuturnya lagi sambil menyimpulkan senyum.

Ketulusan mengabdikan diri untuk profesinya itu masih dan akan terus diimaninya hingga akhir hayat.

“Selama saya sehat, sampai akhir hidup saya, saya akan tetap buka salon ini,” ucapnya.

Cik Pau (74 tahun) pemilik salon tua di Surabaya Utara yang masuk kawasan Kota Tua. Foto: Meilita suarasurabaya.net
Cik Pau (74 tahun) pemilik salon tua di Surabaya Utara yang masuk kawasan Kota Tua. Foto: Meilita suarasurabaya.net

Komitmennya itu, menandakan kalau ia tak sepenuhnya putus asa. Apalagi begitu mendengar rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang akan menghidupkan lagi kawasan kota tua dan dinamai Wisata Kutho Lawas.

“Memang beberapa kali ada tour guide bawa bule diajak potong di sini. Tapi sudah jarang apalagi sejak pandemi,” ucapnya.

Secercah harapan itu menggambarkan kembali mimpinya yang hampir pudar. Niat meneruskan salon selepas Cik Pau pergi yang semula tak ada, menjadi mungkin, hingga merekrut pegawai agar salon tua itu hidup lagi.

“Cucu saya sudah besar, ya kalau memang nanti banyak wisatawan, kawasan ini ramai lagi, cucu saya mau meneruskan. Saya juga bisa rekrut chapster (pegawai),” ujarnya.

Sebelum Wisata Kutho Lawas diresmikan akhir 2023, Pemkot Surabaya masih melakukan sejumlah persiapan.

“Jadi kota tua itu ketika kita datang ke Surabaya, kita lihat ada apa sih, Kampung Arab, Kampung Pecinan, Kampung Jawa, Kampung Eropa. Seperti apa sejarahnya, itu yang kita hidupkan. Melihat destinasi perjuangan, Jembatan Merah,” ucap Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya ditemui terpisah.

Selain kampung empat etnis yang tinggal di Kawasan Kota Tua, penghidupan lagi Wisata Kutho Lawas itu juga diharapkan membangkitkan usaha-usaha legendaris yang pernah berjaya pada masanya.

“Di tempat-tempat itu akan dijadikan destinasi wisata. Potong jaman (zaman) biyen (dahulu) ya di Kya-Kya gitu. Akan kita hidupkan lagi,” imbuhnya.

Ribuan pengunjung padati wisata kuliner Kya-Kya Kembang Jepun Kota Surabaya, Sabtu (10/9/2022). Foto: Meilita suarasurabaya.net

Ia optimistis, Wisata Kutho Lawas akan berhasil seperti Tunjungan Romansa yang kini dipenuhi deretan kafe dan selalu penuh pelanggan setiap hari.

“Insya Allah setelah (Wisata Kutho Lawas) bergerak, (usaha-usaha tua) gak akan tutup. Tunjungan itu dulu banyak yang tutup. Sekarang, buka semua. Kita gerakkan dulu. Kalau gak, nanti gak percaya,” harapnya.

Optimisme itu juga diyakini Retno Hastijanti Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Pemerintah Kota Surabaya.

“Kita (Surabaya) gak banyak punya (destinasi wisata) alam bisa dijual. Adanya urban vibes, suasana dan nuansa perkotaan itu yang kemudian kita create (buat) jadi kota kreatif, menghasilkan kegiatan kretaif yang berdampak pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pariwisata salah satunya,” tuturnya.

Apalagi jika melihat kondisi Jembatan Merah yang dahulu jadi pusat perdagangan dan jantung kota sebelum kawasan lain di Surabaya, kini sepi.

Memang perdagangan dan perindustrian masih banyak, tapi malam hari hampir seperti kawasan mati.

“Kota Lama itu selalu layak dijual. Kedua, lihatlah kawasan perdagangan, kita ini Kota Lama, (tapi) kalau malam mati. Angka kriminalitas jadi tinggi. Tidak menghasilkan. Padahal, paginya begitu (sibuk). Jadi (dengan menghidupkan Wisata Kutho Lawas) kita merawat kawasan,” tegasnya.

Meski, Hasti tegas menyatakan, Kota Tua Surabaya tak akan bisa sama seperti Jakarta dan Semarang yang lebih dikenal sebelumnya.

“Jadi kota tua ada di mana-mana. Setiap kota di Indonesia yang punya sejarah tertentu. Jakarta, Semarang juga ada. Tapi gak bisa dibandingkan. Kota Tua mereka (Jakarta dan Semarang) tidak seaktif Surabaya,” ujar Hasti.

Aktivitas perdagangan, perkantoran, dan perindustrian yang berlalu-lalang di Jembatan Merah tak bisa dipaksa berhenti. Apalagi disterilkan khusus pejalan kaki.

“Jadi kita memikirkan strategi yang menguntungkan semuanya,” ucapnya.

Keragaman etnis lengkap dengan kegiatan sehari-harinya itulah yang harusnya dianggap sebagai kebanggaan dan ditunjukkan pada wisatawan.

“Kita kaya. Gak cuma tangible aspect, bangunan lawas, kuno, yang ada seperti kota tua lain. Tapi, Surabaya punya intangible aspect, aspek tidak berbentuk, keberadaan warga penghuni asli, origin of people yang masih ada. Itu luar biasa,” ceritanya.

Hidupnya Wisata Kutho Lawas, sambungnya, bukan untuk menyingkirkan penghuninya, tapi justru memfasilitasi mereka agar tetap bangga merawat tempat tinggalnya yang akan jadi destinasi. (lta/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs