Ribuan warga Muhammadiyah dari Bubutan Surabaya dan sekitarnya, menggelar salat Iduladha 1444 H di Jalan Pahlawan, Surabaya pada Rabu (28/6/2023) pagi.
Siswoyo Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Bubutan mengatakan, terselenggaranya rangkaian salat Iduladha ini merupakan bentuk kerja sama PCM dengan Pimpinan Ranting Muhammdiyah (PRM) dan organisasi otonom yang ada di Muhammadiyah.
“Jemaahnya kurang lebih sekitar tiga ribuan, meningkat jika dibandingkan dengan tahun kemarin, karena tahun lalu juga masih ada pandemi. Peningkatannya sekitar 15 sampai 20 persen,” ucapnya.
Dalam salat Iduladha tersebut, KH Zainuddin MZ dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur (Jatim) menjadi khatib. Ia menyampaikan terkait pesan moral dalam lempar jamrah.
Ia mengatakan bahwa dalam syariat melempar jamrah terkandung pesan moral agar manusia menjadikan setan-setan sebagai musuh, sehingga kehidupan manusia jauh dari perilaku setan.
“Sejarah syariat melempar jamrah adalah pelemparan Nabi Ibrahim kepada setan yang mengganggu untuk menjalani pengorbanan terhadap putranya, Nabi Ismail. Peristiwa itu berulang sampai yang ketiga, saat pisau telah diletakkan di leher sang anak, terdengar suara langit agar Nabi Ibrahim menghentikan. Cukuplah ujian bagimu wahai Ibrahim. Adakah pengorbanan yang lebih berat dari pengorbanan Ibrahim terhadap anak kandungnya,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa harga diri manusia tidak ditentukan karena kedudukannya, tidak karena kekayaannya, tetapi karena pengorbanannya di jalan Allah SWT. “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling banyak mendatangkan manfaat bagi sesama manusia,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa Islam selalu memberikan solusi terbaik bagi pemeluknya. Berbagai cara juga, kata dia, telah dicontohkan oleh Rasullulah agar dapat menyelesaikan masalah tanpa masalah.
“Jika ada manusia yang menyembah sapi, maka mereka disyaratkan untuk menyembelih sapi. Lalu masihkah mereka tetap menyembah sesuatu yang mereka sembelih? Jika dalam kondisi perut kosong, maka mulut bisa berbicara tak terkontrol dan emosional. Maka Islam mengajarkan saat berpuasa tidak boleh berkata kotor. Lalu adakah terapi yang lebih mumpuni dari itu? Jika sulit meninggalkan kemaksiatan, maka kemaksiatan, setan, dilempari sedemikian rupa. Maka masihkah berteman dengan setan? Dan begitu seterusnya,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga mengatakan bahwa adanya perbedaan Iduladha menjadi hal yang biasa, dan harus disikapi dengan saling menghargai dan menguatkan persaudaraan.
“Itu hal yang wajar, jadi kita hari raya kan sama tanggal 10-nya, harinya saja yang beda, tergantung bagaimana menentukan awal bulan qomariyah itu,” pungkasnya.(ris/saf/rst)