Sidang lanjutan Tragedi Kanjuruhan di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (19/1/2023) hari ini, menghadirkan seorang saksi dari anggota Polri yang berjaga di pintu 12 Stadion.
Dalam sidang lanjutan tersebut, Eka Naravia satu diantara tiga saksi dari unsur Polri yang dihadirkan menyebutkan kesaksiannya mulai dari gambaran kondisi para korban yang berdesakan di gate, hingga tidak pernah adanya instruksi antisipasi chaos oleh Kapolres Malang pada saat itu.
Hal tersebut disampaikan Eka, usai disumpah oleh majelis hakim dalam sidang yang berlangsung mulai pukul 10.00 WIB. Ia menjawab berurutan pertanyaan lima Jaksa Penuntut Umum (JPU), empat pengacara dari terdakwa Arema FC, dan dua majelis hakim.
Dalam laga home Arema FC vs Persebaya Surabaya 1 Oktober 2022 lalu dengan jadwal kick off pukul 20.00 WIB tersebut, Eka mengikuti apel gelar pasukan pengamanan yang dipimpin AKBP Ferli Hidayat Kapolres Malang yang menjabat saat itu.
Eka yang merupakan satu dari belasan anggota Polsek Pakis Malang yang ditunjuk ikut pengamanan laga itu menyebut, tidak ada petunjuk antisipasi jika terjadi chaos (situasi kacau).
“Tidak pernah ada (petunjuk kalau terjadi chaos, jalur escape-nya seperti apa). Tidak pernah. Pak Kapolres menyampaikan waktu itu, bahasa eksesif disampaikan. Tapi kurang bisa dipahami anggota penjabarannya apa. Saya cari arti eksesif itu tindakan yang tidak berlebihan dalam menangani aksi,” kata Eka menjawab pertanyaan jaksa.
Tak hanya saat tragedi Kanjuruhan terjadi, tapi sejak dia bertugas, lanjut Eka, tidak pernah ada briefing soal evakuasi penonton jika ada kejadian diluar dugaan. Yang ia ketahui, jika terjadi chaos akan diselesaikan steward dan polisi hanya membantu.
“Sepengetahuan saya, selama ini kompetisi liga home Arema FC setiap briefing tidak pernah tersampaikan evakuasi atau pengakanan penonton jika ada kejadian tidak diinginkan,” bebernya lagi.
Polisi yang sudah beberapa kali ditugaskan membantu pengamanan pintu stadion saat laga home Arema FC sejak 2004 itu mengaku, baru tiba di depan gate 12 sekitar pukul 17.30 WIB. Tapi, pintu baru dibuka pukul 18.00 untuk penonton bisa masuk.
“Pintu berbentuk kupu tarung dengan pembatas besi di tengah, bisa cukup dua orang. Itu akses keluar dan masuk. Dibuka pukul 18.00 WIB saat petugas steward datang bawa kunci,” imbuhnya.
Pada pertandingan sebelum-sebelumnya, setiap dirinya bertugas, Eka menyebut kalau maksimal penonton hanya bisa masuk pada babak pertama. Tapi saat itu penonton yang sudah berpegang tiket terus masuk meski kapasitas tidak memadai.
“Saya tidak tahu kondisi di dalam tribun seperti apa, karena saya jaga di luar. Tapi saat sudah injury time masih banyak yang bisa masuk, di pintu 12 saja ada ratusan. Banyak penonton pegang tiket tidak bisa masuk karena berjubel. Penonton sudah sampai anak tangga,” ujarnya lagi.
Sekitar pukul 21.45 malam itu, Eka mengaku meninggalkan pintu 12 dan pergi ngopi di warung yang berada di sebelah kanan gate. Saat itu pintu sudah tertutup. Hingga pertandingan usai dengan Arema kalah 2-3 dari Persebaya pukul 22.00 WIB, Eka mendapat instruksi dari Kapolsek Pakis untuk menuju lobi stadion.
“Saya meninggalkan itu masih ada beberapa petugas termasuk steward. Pintu sudah benar-benar tertutup seingat saya. Lalu dari warung pukul 22.00 WIB, saya ditelepon Pak Kapolsek diminta ke lobi membuat barikade pembatas karena ofisial dan pemain Persebaya akan meninggalkan stadion,” katanya.
Untuk menuju ke lobi, Eka melewati gate 12 lagi, 13, lalu 14. Ia melihat masih ada steward yang berjaga. Belum sampai lobi, ia tiba-tiba ingin kembali ke pintu 12. Baru sampai pintu 13, situasi berubah. Ia menyaksikan para suporter sudah bertumpuk dan berdesakan, dengan pintu terbuka tidak sempurna tanpa ada petugas sama sekali. Bahkan, ia mengaku melihat salah satu suporter wanita terjepit di tiang antara pintu karena tidak berhasil keluar dari gate tersebut.
Eka lalu mencoba mengevakuasi para suporter tersebut dengan memberi instruksi Aremania yang di atas (paling belakang dari pintu) untuk mundur. Tapi, mereka justru terus merangsek dan memaksa mendorong pintu. Eka kemudian berlari dan berniat masuk dari pintu 12 untuk menolong wanita terjepit di pintu 13 itu. Tapi, kondisinya justru sama. Pintu yang seharusnya bisa didorong ke dalam sulit dibuka karena banyaknya tumpukan suporter.
Dia juga mengaku, tidak bisa mengetahui pasti wajah dari suporter yang kebiruan, pucat bahkan meninggal karena situasi yang sudah gelap dan lampu padam. Hanya ada belasan orang dengan kondisi sudah lemas yang mampu ditolong.
Merasa situasi semakin kacau, Eka berlari ke lobi dan melaporkan ke perwira polisi yang ditemuinya. Hal itu disebutnya jadi pilihan terakhir, karena dia tidak pernah tahu jalur evakuasi yang bisa dilalui dari dalam stadion.
“Saya lapor Ipda Saminto karena dia perwira pertama yang saya temui. Bahwa di 12, 13, 14 chaos harus butuh bantuan atau banyak korban itu yang saya laporkan. Akhirnya langsung dikoordinasikan, TNI, Polri, steward, mulai mengevakuasi juga dibantu suporter,” ujarnya.
Eka menyebut tidak tahu yang terjadi dalam stadion dan hanya mendengar suara dua kali letupan usai pertandingan berakhir. Suara itu pun didengarya sebelum menemui kejadian di gate. “Saya tidak tahu letupan apa itu,” imbuhnya.
Hingga evakuasi ratusan korban selesai sekitar pukul 02.30 WIB, situasi stadion sudah berantakan. Dua kendaraan milik Polsek Pakis hangus dibakar massa. Eka menyebut tidak pernah tahu mekanisme koordinasi antara polisi, panpel, dan lainnya. Sepahamnya, setiap gate ada perwira pengendali yang bertanggungjawab langsung pada Kapolres.
“Komunikasinya melalui HT, frekuensi sendiri tidak terbuka, tidak semua yang bawa HT bisa tahu. Saya tidak pegang HT hanya waktu duduk dekat Kapolsek saja bisa nguping dengar,” bebernya.
Usai kesaksian Eka yang berlangsung sekitar hampir dua jam, sidang diskors selama 30 menit dan berlanjut pukul 12.30 WIB dilanjutkan lima saksi lain.
Diketahui dari jumlah 17 saksi yang direncakana diperiksa hari ini, baru enam yang dihadirkan dalam ruang sidang untuk memberi keterangan. Mulai dari polisi, korban, hingga pemilik warung di stadion. (lta/bil/ipg)