Jumat, 22 November 2024

Putusan PN Jakarta Pusat soal Penundaan Pemilu, Bisa Merusak Hukum Ketatanegaraan

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi palu simbol kekuasaan hakim. Foto: Pixabay

Tidak masuk akal, aneh, salah kamar, hingga dugaan hakim ditunggangi pihak tertentu, diungkapkan berbagai pihak atas keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang mengabulkan gugatan Partai Prima ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Namun Haidar Adam Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, upaya yang ditempuh Partai Prima dalam mencari keadilan dan mempertahankan hak konstitusionalnya adalah hal yang wajar.

“Kalau soal gugatan dinilai salah kamar, mungkin iya juga. Sebab sebelumnya partai prima sudah mengajukan gugatan sebanyak dua kali ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), namun ditolak karena dianggap tidak punya legal standing untuk membuat gugatan, partai ini kan tidak tercantum dalam peserta pemilu. Akhirnya secara alternatif mereka melayangkan gugatan ke PN Jakpus dengan alasan yang berbeda, yakni soal tindakan pelanggaran hukum dalam hal ini KPU,” Jelas Haidar dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (6/3/2023).

Haidar mengakui ada kecerobohan dari Hakim PN Jakpus yang mengabulkan gugatan agar KPU tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 tersebut. Apalagi , Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan Perma (Peraturan MA), yang mengatur ketentutan gugatan perkara dengan negara harus diselesaikan di PTUN.

“Meski di PTUN sebelumnya memang ada kebuntuan, saya kira Hakim PN Jakpus salah untuk menerapkan putusan itu, karena saya memahami posisi mereka (majelis hakim) mungkin tidak memiliki bassic perspektif ketatanegaraan yang kuat. Sehingga tidak melihat, saat membuat putusan seharusnya tidak hanya melihat kepentingan penggugat saja, tetapi ada asas konstitusional yang harus dipatuhi, sehingga tidak merusak hukum ketatanegaraan,” ujarnya.

Lalu kenapa PN Jakpus tidak menolak ketika permasalahan ini didaftarkan, kata Haidar inilah yang harus dicari penyebabnya.

“Bisa dilihat dari dua sisi, in betwen bisa jadi karena kekurang pahaman, atau perspektif yang keliru atau karena integritas hakim Karena sekali lagi Pengadilan Negeri tidak punya kewenangan untuk menunda tahapan pemilu,” tambahnya.

Di sisi lain, akademisi Unair itu juga meminta agar semua pihak tidak mempertanyakan kapasitas dan independensi hakim dengan cara yang berlebihan. Apalagi, sampai pada tindakan yang mengancam secara personal.

“Hakim ini juga manusia yang harusnya ditempatkan dan diperlakukan secara safe (aman) agar independen. Kalau misalkan memang tidak ada intervensi dari luar, itu berarti keputusan yang dia hasilkan atas pengetahuan yang dimiliki dan ketersediaan alat bukti yang ada,” tuturnya.

Kalau pada akhirnya, putusan tersebut memang bertentangan dengan konstitusi, menurut Haidar, harus di review atau ditindaklanjuti pengadilan di level atasnya.

Kedepan agar polemik serupa tidak terjadi lagi, Haidar berharap agar seluruh pihak terutama partai politik bisa mempersiapkan diri betul-betul, agar aspek-aspek administrasi bisa terpenuhi.

Sementara untuk pihak Pengadilan Negeri, ke depan harus bisa mematuhi secara internal ketentuan yang dibuat oleh MA. Khususnya untuk perkara melawan hukum yang dilakukan pemerintah, sudah ada lembaga yang mengurusi.

Hal tersebut sekaligus mengantisipasi adanya tuduhan/narasi yang tengah beredar di masyarakat tentang dugaan Autocratic Legalism atau kepentingan sempit dari elite-elite kekuasaan masuk ke ranah yudisial.

“Ketika ada perkara, Hakim itu wajib loh melakukan penggalian dan mencari tahu dasar hukumnya. Ini bisa jadi masalah kompetensi sampai integritasnya yang dipertanyakan,” pungkasnya.

Sebelunya Mahfud MD Menkopolhukam, Megawati Soekarnoputri sertta Susilo Bambang Yudoyono selaku Presiden ke-5 dan ke-6 RI turut mengkritisi polemik tersebut.

Tidak main-main, putusan perdata atas gugatan yang dikabulkan itu mengharuskan PN Jakpus menghukum KPU agar tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024, selama lebih-kurang dua tahun empat bulan dan tujuh hari sejak putusan dibacakan, pada Kamis (2/3/2023).

Sementara Agus Jabo Priyono Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) mengaku sengaja menggugat perdata KPU ke PN Jakpus, karena merasa partainya dirugikan dalam proses verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu 2024.

“Kalau tahapan Pemilu tetap dilanjutkan, otomatis Prima yang dalam proses verifikasi dicurangi tidak bisa ikut,” ujarnya di Kantor DPP Prima, Jakarta Pusat, Jumat (3/3/2023) lalu.

Dia mengungkapkan kalau partainya sudah menempuh banyak langkah hukum, seperti melayangkan gugatan sengketa verifikasi ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, terkait status Prima yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU.

Atas gugatan itu, Bawaslu memerintahkan KPU memberikan kesempatan Prima memperbaiki dokumen administrasi dalam waktu 1×24 jam. Tapi, sesudah proses itu, Prima tetap dinyatakan TMS dan tidak lolos menjadi partai politik peserta Pemilu mendatang. (bil/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
34o
Kurs