Jeirry Sumampow Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) menilai wacana hak angket untuk menyelesaikan masalah di Mahkamah Konstitusi (MK) sah.
Tapi, dia meyakini kunci utama untuk memulihkan wibawa penjaga konstitusi tersebut adalah putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang memenuhi rasa keadilan publik.
“Sebagai sebuah hak sih boleh saja. Tap, kalau hak angket itu digagas untuk kepentingan politik saya kira tidak akan berhasil untuk mencapai tujuan yang diharapkan,” ujarnya di Jakarta, Jumat (3/11/2023).
Pernyataan itu merespons nuansa politik yang cukup kental dalam wacana hak angket. Jeirry mengungkapkan lebih efektif untuk mendorong MKMK menjalankan peran dan fungsinya secara baik dan lurus supaya bisa mengembalikan kepercayaan publik.
“Saya berharap banyak dari MKMK. Itu jauh lebih strategis dan efektif. Mudah-mudahan mereka tetap berkomitmen menjaga muruah MK, tidak terjebak atau tidak terpengaruh dengan urusan politik yang berkelindan dalam putusan MK,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, Jeirry mendorong supaya publik bersama memperkuat dan mendukung MKMK. Dia bilang, itu lebih efektif untuk menyelesaikan krisis konstitusi.
“Makanya menurut saya, kita perkuat dan dukung MKMK. Bagi saya itu jauh lebih efektif dan jauh lebih bisa dipercaya publik. Kita juga harus dorong MKMK betul-betul berpikir sebagai negarawan, yang tidak terjebak pada kepentingan politik tertentu atau dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang memang berkelindan cukup kental dalam kasus putusan MK ini,” tuturnya.
Jeirry melanjutkan, jika MKMK tidak mampu menghasilkan putusan yang jernih, maka akan muncul problem lebih besar yakni hilangnya kepercayaan publik pada lembaga pengadil hasil pemilu. Padahal, Bangsa Indonesia sebentar lagi akan mengadakan hajatan demokrasi Pemilu 2024.
“Kalau itu tidak ada lagi, kita akan jadi tambah rumit,” ungkapnya.
Sementara itu, Lucius Karus Peneliti Forum Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) mengatakan, penggunaan Hak Angket DPR terhadap MK tidak tepat.
“Hampir semua pakar tata negara menganggap Hak Angket DPR itu merupakan instrumen pengawasan legislatif ke eksekutif. Sementara, MK itu masuk kamar yudikatif. Secara prinsip kerja lembaga yudikatif itu ya mestinya tidak bisa diselidiki lembaga politik seperti DPR,” katanya.
DPR yang bekerja atas dasar kepentingan politik tertentu, menurutnya jelas tidak bisa netral dalam menilai sebuah keputusan, apalagi jika keputusan itu masih berkelindan dengan dunia politik.
Unsur kepentingan politik pada anggota DPR itu membuat setiap anggota hingga setiap fraksi menilai keputusan hukum dari sisi keuntungan atau kerugian secara politik bagi dirinya mau pun partainya.
“Karena itu, saya kira terkait keputusan MK soal syarat capres-cawapres, jelas bukan objek yang tepat untuk dijadikan alasan penggunaan Angket oleh DPR,” jelasnya.
Lucius menambahkan, isu terkait angket kepada MK lebih merupakan isu elite. Syarat capres-cawapres isu elite yang tidak berkorelasi langsung dengan kepentingan rakyat.
“Kalau DPR sungguh wakil rakyat sebelum-sebelumnya ada begitu banyak isu terkait kebijakan pemerintah yang terkait langsung dengan rakyat yang seharusnya mendorong penggunaan hak angket. Tetapi, karena sebelum ini koalisi pendukung pemerintah dominan, kebijakan pemerintah yang bermasalah justru dibenarkan oleh DPR,” tegas Lucius.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan tentang batas usia capres cawapres, dengan pengecualian bagi mereka yang pernah menjadi pejabat publik.
Keputusan itu membuka jalan Gibran Rakabuming Raka anak Joko Widodo Presiden yang juga keponakan dari Anwar Usman Ketua MK.
MK dianggap meloloskan politik dinasti dan dikecam oleh masyarakat maupun pegiat hukum tata negara.
Lalu, Masinton Pasaribu Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan mengusulkan DPR menggunakan hak angketnya terhadap MK. Tapi, usulan itu dianggap tidak tepat.
“Saya kira sebagai warga negara, kita selalu mendukung DPR yang kuat dalam hal menggunakan semua kewenangan mereka berdasarkan UU. Ada banyak isu rakyat yang selama ini seharusnya cukup untuk memunculkan penggunaan angket, tetapi DPR justru melempem. Tapi, sekarang pas lagi runyam urusan Pemilu, DPR seolah-olah baru mulai bekerja,” pungkas Lucius.(rid/faz)