Jumat, 22 November 2024

Polling Suara Surabaya: Mengeluarkan Pelaku Bullying dari Sekolah Bukan Solusi Efektif

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi anak korban bullying. Foto: freepik

Muhadjir Effendy Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) bersuara tentang kasus bullying di kalangan pelajar. Menurut Muhadjir, rata-rata pelaku bullying hanya pindah sekolah saja tanpa adanya pembinaan.

Muhadjir Effendy menilai memindahkan sekolah tidak cukup untuk mencegah terjadinya kasus serupa. Jika bullying terjadi, artinya ada pembinaan yang tidak berjalan di lingkungan sekolah. Maka pihak sekolah harus melakukan pengawasan lebih baik.

Ia mengatakan, 70 persen kasus perundungan sebenarnya bisa dideteksi dini. Apalagi pelaku pernah pindah sekolah karena kasus yang sama.

Jadi, apakah mengeluarkan pelaku bullying dari sekolah merupakan sebuah solusi?

Dalam diskusi di program Wawasan Polling Radio Suara Surabaya pada Kamis (21/9/2023) pagi, sebagian besar publik menilai mengeluarkan pelaku bullying dari sekolah bukan merupakan solusi.

Berdasarkan data yang dihimpun Gatekeeper Radio Suara Surabaya, dari 41 pendengar yang berpartisipasi, 30 di antaranya (73 persen) menyatakan tidak setuju dan menyebut hal ini bukan solusi. Sedangkan sebelas lainnya (27 persen) setuju dan menyebutnya sebagai solusi.

Menyikapi fenomena bullying itu, Margaretha, S.Psi., P.G.Dip.Psych., M.Sc. dosen, peneliti dan konselor anak & remaja dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) sepakat bahwa memindahkan sekolah tidak akan menyelesaikan masalah bullying anak atau pelajar.

“Berdasarkan riset terbaru saya yang memetakan kesehatan mental anak usia sekolah di SMP di Jawa Timur, saya menemukan bahwa pascapandemi problem relasi menjadi salah satu persoalan kesehatan mental serius pada anak muda di Indonesia,” terang Margaretha.

Menurut Margaretha, salah satu bentuk persoalan relasi adalah adanya gap kekuasaan yang disebut sebagai perundungan. Oleh sebab itu, cara menyelesaikannya yakni dengan membenahi sistem yang membangun relasi permasalah seperti ini.

“Jadi tidak cukup dengan memindahkan siswa. Kita harus menarget anak, teman sebaya, guru, dan keluarga di dalam sekolah,” imbuhnya.

Untuk anak, harus dibangun resiliensi atau kemampuan untuk bangkit dan pulih saat segala sesuatunya tidak berjalan sesuai harapan. Anak harus disiapkan untuk menghadapi agresivitas atau kata-kata yang tidak menyenangkan teman-temannya.

Serta meningkatkan kemampuan anak untuk memberikan batasan. Mana perilaku yang bisa diterima dan mana yang tidak bisa diterima. Tentu saja ini sebuah proses pembelajaran yang harus dibentuk, dilatih, dan diulang.

Oleh sebab itu, Margaretha menegaskan bahwa memindahkan anak tanpa menarget kemampuan pribadi untuk menjadi lebih resiliensi, tidak akan menyelesaikan masalah.

Apalagi da anak-anak tertentu yang memang lebih rentan mengalami perundungan. Misalnya anak disabilitas, anak yang memiliki persoalan psikologis, atau keluarganya sedang bermasalah. “Anak-anak ini perlu dibantu, bukan dipindahkan,” terangnya.

Kemudian untuk anak pelaku bullying, bukan mereka saja yang diarahkan, tapi lingkungan mereka juga perlu diperbaiki. Menurut Margaretha, pelaku bullying itu paling tidak dekat dengan dengan kekerasan di lingkungan tempat tinggalnya.

Jadi, orang tua juga harus sadar untuk mengubah perilaku di rumah untuk tidak melakukan kekerasan kepada anak. Orang tua harus mencontohkan perilaku yang menghargai orang, berempati. Bukan malah merendahkan orang yang lebih lemah.

“Karena kalau lingkungan anak tidak diarahkan, hanya memindahkan anak ke sekolah lain, hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab lingkungan rumahnya masih bermasalah,” sebut Margaretha.

Yang tidak kalah penting adalah sekolah juga harus berperan untuk mengubah dirinya. Guru perlu berefleksi saat ada kejadian bullying. Apakah guru sudah cukup peka memahami perundungan di sekolah. Bagaimana seorang guru menjadi role model bagi siswanya untuk menunjukkan sikap-sikap pro sosial.

“Karena sering terjadi perundungan yang dilakukan guru kepada siswa yang ini akan ditiru siswa kepada siswa yang lain,” imbuhnya.

Kepada para guru, Margaretha mengingatkan bahwa salah satu kemampuan yang dibutuhkan bukan hanya hard skill atau materi akademik semata. Melainkan juga materi soft skill yakni mengenal anak yang dibimbing.

Guru juga diharuskan memahami perilaku dan karakter anak. Ini yang terkadang terjadi miss yang disebabkan oleh aktivitas atau kesibukan harian para guru. “Kalau guru hanya fokus pada akademik, itu membuatnya kurang peka,” bilangnya.

Guru dipersilahkan untuk berinteraksi bahkan berdiskusi dengan siswa untuk meredam atau menghindarkan anak didiknya dari perilaku bullying. “Ini momentum yang baik bagi guru untuk mengembangkan kepekaannya dan bertindak secara nyata di kelas,” ucapnya.

Margaretha menegaskan bahwa ada banyak aktor yang dilibatkan jika berbicara tentang pembinaan siswa di sekolah. Tak hanya guru dan siswa saja, orang tua juga harus dilibatkan. Selain itu, diperlukan dukungan dari masyarakat, para akademisi di universitas, hingga pemerintah. (saf/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs