Masyarakat menyambut baik wacana KAI Commuter menerapkan tiket integrasi kereta api lokal dengan ojek online maupun transportasi publik lain di semua stasiun Kota Surabaya.
Dengan sistem integrasi itu, masyarakat yang menggunakan moda transportasi kereta commuter line bisa sekaligus mendapat layanan ojek online saat turun di stasiun. Selain itu, juga memangkas biaya dan waktu tempuh.
Dalam diskusi yang diperdengarkan dalam program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (8/6/2023), publik antusias dengan wacana tersebut.
Dari data Gatekeeper Sura Surabaya, 25 dari total 29 pendengar (86 persen) tertarik memanfaatkan sarana kereta commuter dengan adanya wacana ini, sedangkan empat sisanya (14 persen) memilih tetap pakai kendaraan pribadi.
Sementara di instagram @suarasurabayamedia, 1.207 dari total 1.511 voters (80 persen) memilih naik kereta, sedangan 304 sisanya (20 persen) tetap menggunakan kendaraan pribadi meski ada wacana integrasi tersebut.
Terkait hasil polling, Dr. Machsus Fauzi Dosen Transportasi Teknik Infrastruktur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengatakan integrasi itu memang dinantikan masyarakat untuk menjawab kelemahan transportasi publik di Surabaya dan sekitarnya.
“Tentu saya pribadi juga sangat mendukung. Karena selama ini kelemahan yang sangat mencolok dari transportasi publik adalah konektivitas antar moda tidak berjalan. Ketika tidak ada konektivitas termasuk ticketing dan sebagainya jadi mahal, akhirnya masyarakat tak punya pilihan lain untuk bertahan dengan kendaraan pribadinya, terutama sepeda motor untuk radius yang tidak terlalu jauh. Saya kira wacana ini akan memenuhi harapan publik,” jelas Machsus saat mengudara di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis.
Menurutnya, selain biaya transportasi mahal, efisiensi waktu karena jarak antar stasiun/halte yang jauh juga jadi pertimbangan masyarakat selama ini, tetap memakai kendaraan pribadinya. Imbasnya, tentu pada kemacetan arus lalu lintas yang berkelanjutan.
Untuk itu, lanjut Machsus, ke depan dibutuhkan tata kota dan sarana pra sarana mendukung integrasi moda transportasi publik. Dia mencontohakan DKI Jakarta dengan konektivitas antar TransJakarta, MRT dan LRT-nya.
“Pembangunan itu seharusnya jangan car oriented (kendaraan pribadi), tapi transport oriented development (untuk transportasi umum). Idealnya jarak antar stasiun dan terminal itu 400 meter seperti di Jakarta,” jelas Machsus.
“Karena itulah, untuk kota-kota besar Indonesia lain, pengalaman di ibu kota bisa diadopsi agar kemudian bisa diterapkan di daerah-daerah lain. Nah kalau bisa, maka masyarakat akan mulai kembali seperti era tahun 80-an ketika bertumpu pada angkutan publik,” imbuhnya.
Selain itu, dia berharap kedepan ada regulasi baru agar seluruh operator angkutan publik tidak lagi berjalan sendiri-sendiri. Caranya, bisa dengan dibentukkan sebuah institusi pengelolaan baru yang menaungi masing-masing stakeholder terkait menjadi satu (merger).
Dia mencontohkan moda transportasi yang ada saat ini di Surabaya seperti Bus Trans Semanggi, Trans Jatim hingga feeder Wira-Wiri punya aplikasi sendiri-sendiri. Itu dinilai akan menyulitkan masyarakat.
“Masyarakat disuguhi beragam aplikasi itu justru akan bingung sendiri-sendiri,” jelasnya.
Berbeda jika pada akhirnya berhasil melakukan merger, sehingga tercipta sebuah aplikasi/platform baru yang mengakomodir seluruhnya, mulai dari proses pembayaran hingga informasi rute.
“Jadi satu aplikasi mengakomodir semuanya. Dengan simplifikasi semacam itulah, masyarakat akan semakin mudah menerima wacana/perubahan yang akan diterapkan di kemudian hari,” pungkasnya. (bil/rst)