Dhuha Mubarok asisten Ombudsman RI perwakilan Bali menegaskan, sekolah negeri tak boleh lagi ada pungutan liar atau pungli. Hal ini sudah diatur di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 44 tahun 2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar.
Meski demikian, hingga kini masih ditemui praktik-praktik pungli yang dilakukan sekolah. Padahal, ada Komite Sekolah yang seharusnya jembatan komunikasi antara wali murid dengan sekolah.
Tapi kini komunikasi antara orang tua dengan sekolah, dalam hal ini guru, bisa dipangkas melalui grup WhatsApp (WA). Lantas, apakah komite sekolah masih efektif untuk mencetak praktik pungli dewasa ini?
Dalam diskusi dalam program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (27/7/2023) pagi, publik menyebut komite sekolah tak lagi efektif untuk mencegah pungli.
Dari data Gatekeeper Suara Surabaya, 13 (62 persen) dari total 21 pendengar menyatakan komite sekolah tak lagi efektif untuk mencegah pungli. Sedangkan delapan lainnya (38 persen) menganggapnya masih efektif.
Sedangkan dari data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 144 voters (75 persen) menilai komite sekolah tak lagi efektif untuk mencegah pungli. Sedangkan 49 voters (38 persen) menilainya masih efektif.
Doni Koesoema Albertus pemerhati pendidikan sekaligus Ketua Dewan Pengarah Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) mengatakan, pemerintah memang sudah membuat Permendikbud nomor 75 tahun 2020 soal Komite Sekolah. Jadi secara substansi, aturannya sudah oke.
“Masalahnya tidak ada supervisi dan kontrol di lapangan. Sehingga meski ada Permendikbud nomor 75 tahun 2020, komite sekolah ini masih mandul,” kata Doni ketika mengudara di Radio Suara Surabaya pada Kamis pagi.
Menurutnya, komite sekolah acap kali menjadi “bemper” bagi kepala sekolah. Ketika sekolah ingin memungut uang dari orang tua, maka komite sekolah yang diminta untuk meminta izin kepada orang tua.
“Maka seolah-olah hal itu menjadi sah untuk memungut dari orang tua. Ini yang sebenarnya keliru,” kata dosen Universitas Multimedia Nusantara itu.
Doni mengatakan, tugas komite sekolah seharusnya membantu pengembangan sekolah. Bukan mengurus masalah jual beli, pengadaan barang, atau yang lainnya.
Selain itu, menurut Doni, dalam beberapa kasus terjadi konflik kepentingan di komite sekolah. Ada sejumlah oknum yang memanfaatkan kedudukannya di komite sekolah untuk menitipkan murid ke sekolah tersebut.
“Bahkan tidak jarang komite sekolah itu meminta uang ketika tahun ajaran baru, saat orang tua itu membayar. Ini sesuatu yang keliru. Jadi selama ini independensinya belum ada,” jabar Doni.
Jika mengacu pada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, atau UU Sisdiknas, komite sekolah seharusnya menjadi lembaga mandiri dan independen.
Tapi dalam praktiknya, yang mengontrol komite sekolah adalah kepala sekolah. Situasi ini membuatnya sangat rawan terjadi kesepakatan di bawah meja, alias kongkalikong.
“Maka yang bisa menyelamatkan adalah kontrol dari masyarakat untuk melihat sumbangan atau pungutan itu dilaksanakan sesuai dengan prosedur dengan benar,” imbuh penulis sejumlah buku tentang pendidikan karakter itu.
Doni menegaskan, tugas komite sekolah bukan perantara antara wali murid dengan sekolah. Lebih dari itu, mereka bertugas untuk membantu pengembangan sekolah. Seperti memberikan pertimbangan dan penentuan terkait kebijakan sekolah.
Selain itu, komite sekolah merencanakan anggaran pendapatan dan belanja sekolah. Ketika anggaran sekolah kurang, maka kepala sekolah bisa berdialog dengan komite untuk mencari solusi. Tapi mencari dananya tidak dengan meminta dari wali murid.
“Komite sekolah harus mencari sponsor, menggalang dana, dan lain-lain. Itu tugas komite sekolah,” terangnya.
Komite sekolah juga bertugas untuk mengamati pelayanan pendidikan, serta menindaklanjuti keluhan, saran, dan aspirasi dari peserta didik, wali murid, dan masyarakat atas kinerja sekolah.
Alumnus Pontifical Gregorian University di Roma ini menggarisbawahi bahwa segala bentuk pungutan, apapun bentuknya, tidak boleh dilakukan oleh pihak sekolah.
“Misalnya sumbangan gedung. Itukan tidak wajib. Jika orang tua sanggup membayar Rp1 juta, ya dia bayar Rp1 juta,” ucap Doni.
Ia menambahkan, sekolah tidak boleh menahan rapor anak jika orang tua belum memenuhi sumbangan. Jika hal ini dilakukan, maka sekolah sama dengan melakukan praktik pungutan.
“Kalau sumbangan itu bebas, tidak ada ikatan sama sekali. Ini yang kadang tidak jelas. Kadang ada dalam bentuk infak. Tapi infak kok wajib,” imbuhnya.
Bercermin dari berbagai fenomena ini, tak mengherankan jika komite sekolah disebut sudah melenceng dari tugas dan kewajibannya. Menurut Doni, hal ini karena komite sekolah tidak paham apa tugas-tugasnya. Serta tidak ada penguatan tentang komite sekolah dari kementerian maupun pemerintah daerah.
Untuk itu, ia menegaskan bahwa komite sekolah tidak boleh berisikan kalangan pejabat. Yang menjadi komite sekolah seharusnya berasal dari orang tua siswa yang masih bersekolah di sana, tokoh masyarakat, konsultan pendidikan, dan LSM pendidikan.
“Komite sekolah harus berisi orang-orang berintegritas yang tidak punya pamrih. Pamrihnya hanya satu, untuk pengembangan sekolah,” sebut pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah (Jateng) ini.
Guna menciptakan komite sekolah yang berintegritas, maka proses pemilihan sekolah harus benar-benar tepat dan bersih. Yang tak kalah penting, komite sekolah harus independen.
Selain itu, Doni juga berharap pemerintah lebih fokus dan serius pada pelibatan masyarakat dalam penguatan komite sekolah. Sebab aduan masyarakat terhadap komite sekolah juga makin banyak. (saf/faz)