Jumat, 22 November 2024

Perubahan Paradigma KUHP Lama Dinilai Jadi Alasan Diringankannya Vonis Ringan Sambo Cs

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ferdy Sambo terpidana pembunuhan berencana Brigadir J saat menjalani sidang pembacaan vonis di PN Jakarta Selatan, 13 Februari 2023 lalu. Foto : Dok/ Faiz Fadjarudin suarasurabaya.net

Diringankannya hukuman Ferdy Sambo cs oleh Mahkamah Agung (MA) atas kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), memicu perdebatan panas di masyarakat.

Dalam perbincangan program Wawasan Suara Surabaya, Senin (14/8/2023), banyak pendengar berspekulasi diringankannya masa hukuman ini jadi bukti bentuk “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas”. Bahkan, beberapa ada yang menilai tidak kaget dengan keputusan MA itu.

Terkait hal ini, Dr. Maradona selaku pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya turut memberikan penjelasan. Menurutnya, pasal pembunuhan berencana yang disangkakan kepada Sambo, ancaman maksimalnya memang pidana mati.

Tapi, ancaman pidana mati tidak berdiri sendiri dan selalu dialternatifkan dengan hukuman penjara seumur hidup atau kurungan paling lama 20 tahun penjara. Sehingga, masih ada peluang vonis itu berubah ketika terpidana mengajukan kasasi.

“Apalagi dalam kasus kemarin itu kan tuntutan Jaksa sebenarnya adalah (penjara) seumur hidup untuk Ferdy Sambo yang oleh Pengadilan Negeri ternyata lebih memilih menjatuhkan vonis mati, dan (putusan itu) juga dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi, sebelum akhirnya diringankan MA jadi seumur hidup,” kata Maradona saat mengudara di FM 100.

Seperti diketahui, MA telah memotong masa hukuman Ferdy Sambo yang sebelumnya dipidana mati menjadi seumur hidup, Putri Candrawathi dari 20 menjadi 10 tahun penjara, Ricky Rizal Wibowo dari 13 menjadi delapan tahun penjara, serta Kuat Ma’ruf dari 15 menjadi 10 tahun penjara.

Menurutnya, sangat wajar kalau peringanan hukuman ini menyebabkan lahirnya persoalan di masyarakat tentang bentuk ketidakadilan, mengingat kejahatan yang dilakukan Sambo cs tidak bisa dibenarkan sedikit pun.

Selain pembunuhan berencana, para terpidana juga berbelit-belit dalam pengadilan, sempat merekayasa kasus, hingga menghalang-halangi penyidikan.

Apalagi untuk Ferdy Sambo, kejahatan itu dilakukan saat menjabat sebagai seorang Kadiv Propam Polri, yang berakhir tidak hanya mencoreng nama Korps Bhayangkara, tapi juga Indonesia di mata Internasional.

Dosen Hukum Pidana Unair itu kemudian menyambungkan keputusan MA tersebut dengan perubahan paradigma dalam KUHP lama yang disusun tahun 1881, di mana hukum berorientasi pada keadilan retributif menggunakan hukum pidana sebagai sarana balas dendam atau Lex Talionis.

“Nah, kalau polanya masih ‘mata dibalas mata dan gigi dibalas gigi’, kita akan hidup di suatu society yang banyak orang buta dan banyak orang ompong gitu kan. Jadi perubahan paradigma sekarang itu adalah tidak lagi pembalasan, tapi bagaimana caranya di satu sisi pelaku menyesali dan memperbaiki perilakunya dan korban mendapatkan haknya gitu ya untuk mendapatkan keadilan. Jadi kurang lebih begitu,” ucapnya.

Dia menambahkan, paradigma itu juga masuk dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, yang mulai berlaku mulai 2 Januari 2026. Dalam KUHP baru itu pidana mati sudah tidak lagi menjadi pidana pokok.

Namun, dipastikan pidana mati akan tetap ada dalam sistem hukum pidana Indonesia dengan masih dicantumkannya pasal-pasal yang memiliki ancaman pidana mati dalam KUHP baru.

“Tapi yang diatur adalah bagaimana kemudian Hakim menggunakan kewenangannya ketika mau menjatuhkan pidana hati. Dalam KUHP baru itu, Hakim ketika akan menjatuhkan pidana hati, dia harus memberi waktu 10 tahun masa percobaan. Jadi 10 tahun itu akan dilihat apakah ada perbaikan dari sisi pelaku, apakah kemudian ada hal-hal tertentu sehingga masyarakat melihat bahwa orang ini sudah berubah. Sehingga, atas rekomendasi MA, Presiden kemudian dapat mengumumkan hukumannya diringankan jadi seumur hidup,” jelas Maradona.

Bahkan dalam KUHP baru, grasi yang kemudian ditolak dan terpidana tak kunjung dieksekusi dalam jangka waktu 10 tahun, bisa menjadi hukuman seumur hidup.

“Sekarang ini kan banyak kasus, orang yang sudah divonis mati, tapi sudah puluhan tahun menunggu tak kunjung dieksekusi. Bahkan ada yang mati di penjara secara alami. Nah, ke depan kalau seperti itu, kalau 10 tahun tidak segera dieksekusi, maka ada tempat lagi untuk kemudian hukumannya berubah menjadi seumur hidup,” terangnya.

Meski demikian, diakui juga oleh Pakar Hukum Unair ini bahwa perdebatan soal pidana mati tidak akan pernah berujung. Ini karena pendapat setiap orang memiliki value masing-masing.

“Untuk itu, pembuat undang-undang kita, di KUHP yang baru kita melihat bagaimana pidana mati ini menjadi pidana khusus atau pidana alternatif. Pidana mati akan tetap ada, tapi pelaksanaannya akan ada mekanisme-mekanisme tertentu,” pungkasnya. (bil/ham)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs