Eddy Hermawan Periset Iklim dan Atmosfer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan kondisi awan yang belum matang dan durasinya singkat mengakibatkan teknologi modifikasi cuaca belum optimal mengatasi polusi udara di Jakarta.
“Belum tepat untuk penyemaian baik dari segi awan maupun arah dan kecepatan angin juga tidak mendukung,” tuturnya dalam bincang sains dilansir Antara, Rabu (30/8/2023).
Peneliti Ahli Utama itu menjelaskan bahwa hujan yang membasahi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi selama beberapa hari terakhir dipicu oleh Siklon Tropis Saola yang berada di Filipina.
“Badai itu menarik awan dan uap air dari berbagai tempat dengan cepat, salah satunya dari perairan selatan Pulau Jawa,” katanya.
Awan dan uap air yang tertarik siklon tropis tersebut melewati wilayah Jabodetabek. Dia mengatakan pemusatan tekanan rendah yang ada pada daerah-daerah tersebut ikut memicu hujan turun.
Adapun menurut dia, upaya pemerintah menyemprotkan air dari gedung-gedung tinggi bisa dicoba karena tidak ada lagi solusi instan untuk mengatasi polusi udara di Jakarta.
“Kalau menunggu Jakarta diguyur hujan, maka kita tunggu monsun Asia mulai masuk atau kapan Indian Ocean Dipole (IDO) itu mulai mendekati fase netral,” ujar Edy.
Dipol Samudra Hindia tersebut bergerak ke posisi netral pada akhir Desember, Januari, dan Februari 2024.
Edy mempercayai dampak El Nino masih cukup kuat terasa di Indonesia bahkan hingga Maret, April, dan Mei 2024.
“Ini yang perlu kita waspadai. Memang sifatnya (El Nino 2023) tidak strong dari segi kekuatan, tetapi durasinya cukup lama sekitar 9-12 bulan,” tandasnya. (ant/bnt/ipg)