Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) mengungkapkan, dari total koruptor di Tanah Air, 84 persen di antaranya merupakan lulusan perguruan tinggi.
Masih dalam data yang sama, saat ini jumlah koruptor di Tanah Air sekitar 1.300-an yang sudah ditangkap atau sudah diadili pengadilan. Artinya sekitar 900 koruptor merupakan lulusan perguruan tinggi atau sarjana.
Mahfud menyampaikan, perguruan tinggi tidak gagal meskipun angka koruptor dari kalangan sarjana terbilang tinggi. Sebab hingga saat ini jumlah lulusan perguruan tinggi jauh lebih banyak, kurang lebih 17,6 juta orang.
Soal ratusan koruptor lulusan perguruan tinggi itu, Mahfud menilai para koruptor hanya pintar dari segi otak, tapi wataknya tumpul. Dengan kata lain, ada ketidakseimbangan antara kecerdasan kognitif dengan kemuliaan watak.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Dr. Mohammad Nasih, SE., MT., Ak., CA Rektor Universitas Airlangga (Unair) menyatakan bahwa apa yang disampaikan Mahfud benar dan tidak ada yang salah, baik secara statistik, matematis, dan logis.
“Kita juga harus melihat yang mayoritas. Mereka yang (jumlahnya) 16,999 juta lulusan perguruan tinggi, yang mendapatkan pembelajaran dan perkualiahan yang sama, toh juga tidak melakukan korupsi dalam tanda kutip. Ini juga harus dijadikan tolok ukur dalam membahas sesuatu,” kata Nasih dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (19/12/2023).
Jika dalam kurva statistik, menurut Nasih, 900 koruptor lulusan perguruan itu berada di wilayah outlayer. Atau wilayah yang tidak normal.
“Sehingga tentu tidak baik kalau dikaitkan seolah-olah perguruan tinggi berkontribusi signifikan dalam membentuk watak-watak koruptor,” imbuh pria yang menjabat Rektor Unair sejak 2015 tersebut.
Oleh karena itu, tanpa mengurangi ikhtiar perguruan tinggi dalam pengembangan integritas peserta didik, harus dipahami bahwa korupsi bermuara dua sumber, yakni internal dan eksternal.
Sumber internal yang dimaksud Nasih adalah yang menjadi tugas semua pendidik dari tingkat TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi, untuk mencetak insan yang berintegritas.
“Yang tak kalah penting adalah faktor eksternal. Kita semua paham bahwa persaingan di berbagai hal di Indonesia terjadi sangat luar biasa. Dalam beberapa kondisi persaingannya bersifat sangat tidak normal. Menurut saya ini menjadi pertimbangan utama,” jabarnya.
Nasih menambahkan, identifikasi koruptor juga perlu dilakukan. Sebab mereka yang korupsi adalah para pejabat, pelaksana, dan pengeloka negara.
“Dalam beberapa kasus, dan ini juga menjadi mayoritas, untuk menjadi itu (pejabat) tampaknya juga tidak mudah. Dan ada satu-dua yang harus menggunakan uang. Ini menjadi ujung yang, menurut saya, harus diurai,” terangnya.
Nasih menjelaskan, perguruan tinggi telah berupaya untuk mengembangkan integritas peserta didik sejak awal mereka menjadi mahasiswa. Bahkan dalam praktik sehari-hari mereka yang menyontek saat ujian atau dalam tugas lainnya, akan mendapat hukuman tegas.
Ketegasan itu adalah upaya untuk mendorong mahasiswa bersikap jujur. Pihak kampus juga memfasilitasi berbagai hal agar mahasiswa bisa bersaing secara fair dengan mengedepankan aspek moralitas.
“Kita juga memberikan contoh di perguruan tinggi. Rasa-rasanya kalau ada institusi yang pemilihan rektor, dekan, kajur yang tidak melibatkan uang, menurut saya di perguruan tinggi,” sebut Nasih.
Menyikapi pernyataan Mahfud, tentang ketidakseimbangan antara kecerdasan kognitif dengan kemuliaan watak, Nasih mengatakan bahwa secara konseptual mereka berharap persiapan watak sudah selesai saat SMA. Sehingga di perguruan tinggi murni soal skill dan profesionalisme.
“Kalau berbicara profesionalisme juga bicara etika profesi. Dan di pekerjaan manapun etika profesi menjadi penting, dan itu yang kami kembangkan. Kami doktrinkan bahwa etis itu penting dan moralitas itu penting. Bahwa masih ada satu-dua itu karena godaan di luar terlalu berat,” tegasnya.
Unair sendiri, terang Nasih, telah merekonstruksi kurikulumnya. Sehingga setiap mata kuliah terintegrasi dengan berbagai macam perkuliahan lainnya. Setiap mata kuliah yang diberikan juga menyentuh aspek-aspek moral dan karakter.
“Dan hampir semua perkuliahan itu peak-nya dikaitkan dengan aspek integritas yang bersangkutan,” kata Nasih. (saf/ham)