Pemerintah mendorong pengiriman logistik jalur darat beralih menggunakan kereta api (KA) dan kapal, sebagai salah satu solusi yang ditawarkan saat nantinya Zero Over Dimension and Over Load (ODOL) diterapkan.
Hendro Sugianto Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengatakan, Kemenhub sudah mencoba ini di KA Makassar – Pare -pare dan hitungan tarifnya sudah ada. Bahkan sekarang Kemenhub sedang menghitung tarif pengiriman logistik Jakarta-Surabaya dan Jakarta-Semarang.
Terkait ini, Prof I Nyoman Pujawan Ketua Dewan Pembina Institut Supply Chain dan Logistics Indonesia menilai, peralihan dari jalur darat ke KA dan kapal masih akan menemui kendala diantaranya tentang penambahan biaya bongkar muat, waktu keberangkatan yang kurang fleksibel dan kapasitas atau daya tampung kereta yang kecil dibanding armada jalur darat.
“Kalau jaraknya tidak terlalu jauh maka akan menambah biaya dan waktu karena KA menghubungkan stasiun ke stasiun, sementara barang itu kan asal dan tujuan akhirnya tidak di stasiun. Mungkin dari pabrik menuju ke gudang atau pelanggan harus tersambung dengan moda truk, sehingga akan ada tambahan aktivitas di stasiun yaitu proses bongkar muat yang membutuhkan sinkronisasi jadwal,” ujar Nyoman dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Rabu (4/1/2023).
Sementara bila jarak logistik yang ditempuh pendek, maka pengiriman barang menggunakan truk akan lebih kompetitif biaya operasionalnya dibandingkan KA.
“Jadi rule of income-nya kereta baru mengalahkan truk ketika jarak yang ditempuh lebih dari 500 kilo,” jelasnya.
Kemudian untuk kategori logistik yang bisa diangkut oleh KA dan kapal sehingga biaya pengiriman logistinya bisa lebih rendah, Nyoman menyebut, yaitu yang jarak tempuhnya jauh, volume besar dan nilai barang relatif rendah.
“Misal di kebanyakan negara yang diangkut kereta adalah batu bara dan semen yang value-nya rendah tapi volumenya besar. Kalau di Indonesia bisa pupuk, semen, batu bara, itu kandidat komoditas yang tepat diangkut lewat kereta dan kapal,” contohnya.
Nyoman menambahkan, di Eropa dan Amerika share angkutan kereta tidak sebesar truk. Didukung teknologi perkeretaapian yang sudah maju saja, Eropa hanya mampu membukukan share sebesar 18 persen dan Amerika 13 persen.
Bila ini diterapkan di Indonesia, maka PR pemerintah adalah menyediakan infrastruktur dan konektivitas yang memadai supaya share yang didapat maksimal.
“Kalau memang nanti KA mau diintensifkan maka frekuensinya harus diubah dan meningkat, sehingga orang tidak harus menunggu lama untuk mendapat jadwal pengangkutan,” jelasnya.
Selain itu, kesiapan infrastruktur yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan gudang untuk tempat transit sementara, seperti yang ada di pelabuhan.
“Perpindahan moda antara kereta dengan truk akan membutuhkan tempat transit sementara, supaya tidak terlalu menggantungkan antara satu moda dengan yang lain. Artinya truk boleh ngedrop barang di gudang,” kata Nyoman.
Fungsi gudang ini nantinya juga sebagai tempat konsolidasi untuk barang volume besar dan kecil, sehingga bisa menjangkau semua pengirim logistik.
“Pabrik-pabrik yang punya muatan relatif kecil konsolidasi dengan muatan orang lain, sehingga volumenya waktu berangkat akan besar karena digabung,” terangnya.
Dalam kesempatan tersebut Nyoman turut mendukung diterapkannya wacana ini karena dapat meningkatkan share di kapal dan KA meski tidak masif.
“Ini bisa mengurangi beban jalan, karena kereta dikenal lebih environmental friendly. Konsumsi bahan bakar hanya seperlimanya kalau dibandingkan truk,” pungkasnya.(dfn/rst)