Jumat, 22 November 2024

Pengamat Pendidikan : Perjokian di Perguruan Tinggi Sudah Mengakar Lama

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
ilustrasi merayakan kelulusan. Foto: Getty Images

Awetnya budaya perjokian di kalangan perguruan tinggi, untuk pembuatan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan akademis sampai pengajuan guru besar, disorot. Munculnya ‘perjokian’ disebut-sebut sebagai budaya mengakar yang diakibatkan banyak faktor.

Doni Koesmana Ketua Dewan Pengarah Aliansi Penyelenggara Pendidikan menjelaskan, timbulnya budaya ini juga dilihat dari bagaimana perguruan tinggi memandang kualitas pendidikan, baik dari sistem penilaian mahasiswa serta tugas yang diberikan pihak kampus.

“Yang dimaksud kualitas, apapun yang sangat dihormati di kampus kita, itu tidak jelas lagi. Kalau yang dihormati adalah skor atau nilai, maka yang kemudian menjadi persoalan adalah seperti yang terjadi sekarang ini,” ujar Doni ketika berbincang di program Wawasan Suara Surabaya, Selasa (14/2/2023)

Faktor lain adanya intervensi dari kemendikbud, dimana semenjak adanya UU Otonomi Daerah, perguruan tinggi berada di bawah kemendikbud langsung.

“Beda dengan sekolah SMA, SMP, SD yang kewenangannya di provinsi dan kabupaten kota, kalau Universitas bisa diobok-obok kemendikbud. indeks jurnal ilmiah, berapa jumlah guru besar, dan rasio doctoralnya (jadi tolok ukur), sehingga semua kampus berlomba-lomba untuk ngejar ini. Saya rasa ini persoalan yang sistematis dan paradigmatis,” terang Doni.

Beragam indeks yang harus dikejar perguruan tinggi untuk memenuhi standar akreditasi inilah yang kemudian menjadi pemicu munculnya joki, baik di kalangan mahasiswa ataupun dosen.

Keberadaan joki langgeng di kalangan kampus ini kata Doni karena ada supply and demand. Dipicu dengan mentalitas mahasiswa yang ingin serba cepat/instan.

“Motivasi utamanya itu hanya ekonomi, bukan untuk perbaikan perguruan tinggi, kalau dulu levelnya berbeda, tugas-tugas berat seperti skripsi itu yang dikerjakan joki, tapi sekarang lebih sepele lagi. Tugas yang diberikan dosen aja ada jokinya. Mahasiswa tidak ngerjakan tapi minta tolong kakak kelas atau siapa yang bisa mengerjakan. Dosen sendiri kadang tidak bisa membedakan itu karta otentik atau tidak,” tambahnya.

Dia menilai, ketika perguruan tinggi yang seharusnya fokus memajukan ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban, lalu bergeser ke ‘pabrik’ untuk melahirkan orang-orang yang siap bekerja, saat itulah masalah terjadi.

“Karena semuanya, hitungannya adalah duit, bukan lagi kinerja keilmuan,” tuturnya.

Untuk menghindari perjokian di perguruan tinggi, Doni menyarankan agar kampus secara internal melakukan assesment  yang kemudian memberikan ruang untuk pelaporan ketika praktek-praktek perjokian terjadi. Ke depan dengan kehadiran Artificial Intelligence proses penyusunan karya ilmiah akan semakin muda, sehingga mekanisme assesment terhadap keilmuan seseorang harus diubah, untuk membuat karya ilmiah yang otentik.

Sebelumnya, praktik perjokian dunia akademik di sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia disebut terjadi masif dan sistematis. Temuan ini dari hasil investigasi Harian Kompas yang dirilis Sabtu (11/2/2023) lalu menyebutkan, praktik perjokian terjadi untuk pembuatan karya ilmiah sebagai syarat kelulusan akademis sampai pengajuan guru besar.

Perjokian melibatkan pejabat struktural kampus, dosen dan mahasiswa. Salah satu modus perjokian adalah membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi. Tim menyematkan nama dosen-dosen senior yang ingin jadi guru besar atau naik pangkat, sebagai daftar penulis di karya ilmiah. Meski pun dosen-dosen senior itu tidak berkontribusi aktif dalam pembuatan karya ilmiah yang akan dipublikasikan, kegiatan ini diduga untuk mendongkrak angka kredit dan meningkatkan akreditasi kampus.

Dalam investigasi kompas ke sejumlah kampus, ada tim Percepatan Guru Besar yang tugasnya memberikan bimbingan penulisan artikel ilmiah. Tim ini aktif mengerjakan artikel ilmiah untuk dosen calon guru besar. Tim mengerjakan proses riset analisis data, sampai membuat manuskrip. Sementara dosen senior yang ingin jadi guru besar, terindikasi minim kontribusi.  Tim percepatan ini biasanya ada mahasiswa dan dosen muda.

Tapi dalam laporan investigasi Kompas disebutkan, saat dikonfirmasi ke kampus kampus yang bersangkutan mereka menolak menyebut tim percepatan sebagai joki karya ilmiah, karena pelaksanaan penelitian tetap merupakan tanggung jawab calon guru besar. (abd/rst)

 

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs