Agoes Tinus Lis Indrianto, Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra (UC) Surabaya mengatakan saat ini traveling ke luar negeri, tidak hanya digemari oleh masyarakat kelas menengah keatas, namun juga kelas menengah.
“Sebenarnya kelas menengah ke atas tidak terlalu terpengaruh harga dan biaya. Tapi saat pandemi kemarin ada sisi emosional orang ngempet (nahan) ga bisa wisata, sehingga ketika sudah bebas seperti ini terjadi ledakan untuk bisa berangkat. Jadi golongan menengah yang dulunya pegiat (wisata) lokal, karena ada faktor biaya murah akhirnya milih wisata keluar negeri,” ujar Agoes Tinus saat mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Kamis (25/5/2023).
Menurutnya, tidak ada yang salah dengan tren tersebut. Mengingat, selama Pandemi Covid-19 masyarakat banyak dibatasi aktivitas wisatanya sehingga beberapa ada yang punya tabungan untuk wisata. Kemudian, bermunculan juga promo paket wisata keluar negeri yang harganya cukup murah jika dibandingkan dengan wisata di Tanah Air.
Dia juga menjelaskan, meski jumlah wisatawan kelas menengah yang keluar negeri sekarang cukup besar, tapi destinasi luar negeri yang dipilih tidak terlalu jauh.
“Seperti waktu itu Turki harga (paket wisata)-nya sempat medium di angka Rp15 juta, akhirnya (kelas menengah) ke situ semua. Tapi kalau lebih jauh seperti Eropa, Amerika, Eropa Timur di Skandinavia, itu pasarnya masih untuk kelas menengah keatas,” bebernya.
Tinus sapaan akrabnya juga setuju dengan statemen pemerintah yang menyebut fenomena itu bisa mengurangi devisa negara. Namun, dia menegaskan kalau fenomena traveling ke luar negeri tidak bisa dilarang.
Devisa yang berkurang tersebut, lanjut dia, bisa disiasati dengan menambah wisatawan mancanegara (wisman) untuk datang ke Indonesia. Kata Tinus, kebanyakan wisman datang ke Indonesia untuk menikmati wisata alam dan tidak fokus untuk berbelanja. Berbeda dengan wisatawan Indonesia yang keluar negeri, kebanyakan lebih condong untuk sekalian berbelanja dalam jumlah besar.
“Mereka (wisman) itu menikmati wisata alam, belanjanya itu normal. Tapi kalau kita amati masyarakat kita yang keluar negeri, pasti pulang belanjanya luar biasa. Itu juga faktor berkurangnya devisa,” imbuhnya.
Terkait potensi wisata alam, lanjut Tinus, sebenarnya Indonesia tak kalah dengan negara-negara lain yang jadi tujuan wisatawan saat ini. Dia mencontohkan kalau Indonesia sebagai negara kepulauan, justru harus menguatkan sektor wisata kemaritimannya.
“Memanfaatkan laut dan maritim belum banyak tereksplor. Wisata sungai justru yang terkenal di Thailand, padahal wisata kita di sektor itu banyak. Pemerintah harus hadir dan tidak bisa menyerahkan semua promosi wisata itu ke Swasta, karena mereka mengincar yang diminati wisatawan,” ujarnya.
Selain kreativitas dan promosi wisata, lanjut Tinus, pemerintah juga harus menyiapkan sarana pendukung lain seperti biaya transportasi yang tidak terlalu tinggi perbandingannya dengan wisata ke luar negeri.
Selanjutnya dari sisi kebersihan, kata Tinus, tentu harus diprioritaskan terutama untuk menjaga wisatawan kelas menengah ke bawah, yang masih jadi pasar wisata domestik.
“Objek wisata alam Indonesia paling top lah. Tapi kembali lagi kita kalah di hal-hal basic seperti fasilitas dan sarana transportasi yang harus segera diperbaiki,” pungkasnya. (bil/rst)