Jumat, 22 November 2024

Penderita Kusta Jatim Terbanyak Se-Indonesia, Gejala Awal Kulit Merah dan Mati Rasa

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Dokter Yulianto Listiawan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Indonesia (Perdoski) cabang Surabaya. Foto: Meilita suarasurabaya.net

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski) Surabaya mengungkap jumlah penderita kusta masih tinggi, dengan Indonesia menduduki posisi ketiga di dunia.

Dokter Yulianto Listiawan Ketua Perdoski cabang Surabaya mengatakan, Jawa Timur (Jatim) bahkan menduduki posisi tertinggi penyumbang kasus kusta di Indonesia.

“Kusta itu menjadi masalah di Indonesia, penyakit kusta nomor tiga di dunia itu Indonesia. Pertama India, dua Brazil dan kita Indonesia nomor tiga. Itu menjadi masalah, karena dulu sampai sekarang ranking kita gak turun, terus nomor tiga,” kata Yulianto, Sabtu (4/3/2023).

Kusta dapat menular lewat droplet penderitanya yang belum diobati, dengan efek dikhawatirkan bisa menimbulkan kecacatan. Untuk memutus penyebarannya harus dilakukan pengobatan.

“Jadi tugas kita bersama-sama sekarang mendeteksi secara cepat supaya awal. Diobati sekali selesai tidak menular,” ujarnya lagi.

Meski gejala penderita baru diketahui usai 10-20 tahun setelah tertular, namun Yulianto mengimbau masyarakat mendeteksi secara dini ciri-cirinya yang mirip penyakit kulit biasa.

“Kusta itu suatu penyakit yang tidak terlihat great imitator, seperti penyakit kulit biasa. Merah-merah kulitnya dan dikira auto imun, diobati macam-macam, padahal itu tanda dini dari kusta. Ada gejala kulit yang mati rasa, ada merah-merah tapi tidak gatal, itu menunjukkan bahwa kuman menyerang saraf dan kekebalannya bereaksi akibatnya saraf tidak berfungsi. Ada gejala di kulit tidak gatal harus hati-hati,” bebernya.

Kepala Departemen Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu juga menyebut, meski Jatim sudah mengeliminasi kusta, namun beberapa darrah masih endemis dan butuh diputus rantai penularannya.

“Artinya penderita kusta kurang dari 1/10.000. Tapi beberapa kantong masih endemis di atas 1/10.000, diantaranya pantai utara Jawa dan Madura. Surabaya kan pusat provinsi, orang Madura banyak yang kesini dan itu harus kita atasi, kita harus membuka mereka untuk mau berobat jika diketahui gejala dini. Karena begitu diobati sekali sudah tidak menular,” ucapnya.

“Memang butuh waktu lama untuk sembuh, tapi penularannya bisa diputuskan dengan sekali pengobatan. Jawa Timur tertinggi se-Indonesia, karena penduduknya banyak. Sekitar 30-40 persen dari total kasus di Indonesia,” tuturnya.

Mengatasi itu, Perdoski Surabaya menyebut pentingnya edukasi ke kabupaten-kabupaten endemis untuk mendeteksi penderita dan mengobati agar memutus rantai penularan.

“(Targetnya) eliminasi di bawah 1/10.000, eradikasi nol tahun 2025. Kita harus ke kabupaten masing-masing,” tandasnya. (lta/bil/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs