Jumat, 22 November 2024

PDPI: Perempuan Indonesia Berisiko Tinggi Kanker Paru Karena Sering Terpapar Asap Rokok

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi kanker paru. Foto: Getty Images

Dokter Sita Laksmi Andarini Ketua Kelompok Kerja Onkologi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengatakan, angka pengidap kanker paru di Indonesia lebih muda 10 tahun dibandingkan rata-rata di negara lain terutama pada perempuan.

Hal itu karena banyaknya jumlah perokok. Sehingga, asap rokok berimbas ke anggota keluarga terutama anak dan cucu.

“Jadi, usia lebih muda ini di Indonesia. Hasil penelitian kami, angka kanker paru di Indonesia 10 tahun lebih muda dibandingkan dengan data di negara lain. Kalau di negara lain adalah sekitar 63-68 tahun. Di Indonesia sekitar 58 tahun rata-rata yang kanker paru,” ujarnya dalam diskusi kesehatan yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin (4/12/2023).

Melansir Antara, Sita mengatakan merokok meningkatkan risiko kanker paru lebih tinggi sebanyak 20 kali lipat.

Angka kanker paru di Indonesia lebih muda karena usia mulai merokoknya yang lebih muda dan paparannya meningkat pada perempuan tidak merokok. Sehingga, usia penderita kanker lebih cepat 10 tahun.

Selain itu, pada laki-laki yang frekuensi merokoknya tinggi dapat berimbas pada seluruh anggota keluarga yang terus-menerus terpapar asap roko. Sehingga, bisa menyebabkan kanker paru pada anggota keluarga terutama perempuan yang riwayat keluarganya memiliki kanker paru.

Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi (Paru) di Universitas Indonesia itu melanjutkan, gejala kanker paru yang perlu diwaspadai adalah sesak napas, batuk berdarah, nyeri dada, dan ada pula yang menyerupai stroke misalnya kejang.

Dia bilang, penyebaran kanker dari paru ke otak bisa memicu penyumbatan di otak dan menimbulkan tumor otak.

“Banyak juga beberapa pasien terdiagnosis kanker paru bukan karena batuk atau sesak napas tapi tiba-tiba kok lumpuh sebelahnya (stroke) kemudian dilakukan CT Scan otak atau MRI otak, ternyata ketahuan di situ ada tumor, saat di biopsi asalnya dari kanker paru,” imbuhnya.

Selain rokok konvensional, rokok jenis e-sigaret mau pun shisha juga memiliki tingkat nikotin yang sama bahkan lebih tinggi 30 kali lipat yang dapat meningkatkan risiko kanker paru.

Pencegahan pada stadium dini sangat dianjurkan agar meningkatkan angka ketahanan hidup sampai 5 tahun.

“Dari stadium 1 ke stadium 3b ini hanya sekitar 1 tahunan, jadi 1 tahun sampai 1,5 tahun dari stadium 1a sampai stadium 4, jadi ini sangat sangat cepat karena itu kita harus menemukan kanker paru dalam waktu dini,” saran Sita.

Deteksi dini atau skrining dapat mempercepat penemuan diagnosis stadium awal sebanyak 23 persen, dilakukan dengan Low Dose CT Scan (LDCT) dengan dosis rendah.

Skrining perlu dilakukan meskipun belum ada gejala dengan kriteria sudah menginjak usia 45 tahun ke atas, perokok aktif atau pasif, bekas perokok yang berhenti 10 tahun, bekerja di tempat yang terpapar bahan kimia seperti silika, pertambangan asbes, dan riwayat tuberkolosis genetik.

Jika di bawah 40 tahun namun ada riwayat keluarga terkena kanker paru, maka pemeriksaan bisa dilakukan selama 2 tahun sekali.

“Tetapi kalau kita lihat di Indonesia angka perokok itu adalah pada laki-laki sebanyak 64 persen jadi hampir 6 dari 7 orang, harus LDCT tiap tahun. Untuk laki-laki apalagi dengan ex-smoker kalau ada gejala maka diagnosis dini kalau ada nodule dan berasosiasi dengan tuberculosis maka cek dahak TB,” pungkasnya.(ant/mel/rid)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
34o
Kurs