Jumat, 22 November 2024

Pakar Unair: Agar Efektif, Pembatasan Iklan Junk Food Harus Dibarengi Regulasi Lain

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi Junk Food atau Fast Food. Foto: Unsplash

Piprim Basarah Yanuarso Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mendorong pemerintah membatasi iklan junk food untuk menekan angka diabetes anak.

Ia berharap pada iklan yang beredar di masyarakat ditambahkan peringatan ‘Konsumsi berlebih bisa menyebabkan diabetes.’ Selain itu, kandungan karbohidrat dalam junk food setara dengan berapa gram juga harus dicantumkan. Bukan hanya di junk food, kandungan karbohidrat dalam produk seperti susu, minuman manis, kue, snack dan biskuit juga dinilai perlu ditulis dalam kemasan.

Usulan IDAI ini mendapat beragam respon dalam program Wawasan Polling di Radio Suara Surabaya, Kamis (16/2/2023). 75 persen pengakses SS menyebut ini tidak efektif, sementara sisanya setuju dengan usulan ini.

Vincentia Putri salah satu pengakses SS yang menyebut usulan ini tidak efektif karena berkaca dari anak-anak saat ini yang meng-skip iklan saat melihat iklan di YouTube. Pintu masuk yang efektif menurutnya justru dari keluarga. Yaitu dengan membiasakan makan makanan sehat sejak kecil.

Senada dengan Vincentia, Tjhia Men Fui karena orang tua saat ini cenderung pasrah apabila anaknya tidak mau makan. Sehingga akan cenderung apa yang diinginkan anak asal dimakan.

Wayan Widarse, salah satu pendengar SS yang menyetujui dorongan IDAI ini menilai usulan ini efektif untuk menekan angka diabetes anak. Begitu juga dengan Bobby Candra yang menilai ini bisa dilakukan asal pola hidup dan pola makan anak turut diubah.

Terkait ini Windhu Purnomo Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) mengingatkan, pembatasan iklan junk food akan efektif jika dibarengi dengan regulasi lain. Ia menambahkan, regulasi lain itu bisa berupa peningkatan cukai untuk makanan atau minuman manis dan berkarbonasi.

“Cukai dinaikkan, jadi konsumsi berkurang karena harganya lebih mahal. Itu dilakukan di banyak negara. Karena diabetes melitus ini rajanya penyakit, bisa ke mana-mana, mengganggu kardiovaskular, mata, ginjal dan sebagainya,” terangnya saat mengudara di Radio Suara Surabaya pada Kamis (16/2/2023).

Menurutnya, iklan tidak bisa dibatasi begitu saja karena harus ada pembicaraan di DPR terutama dengan pihak pemerintah apakah memang perlu ada pembatasan pada iklan junk food atau tidak. Namun, ia menjelaskan, bahwa kita tidak bisa begitu saja melakukan advokasi ke pemerintah jika tidak ada bukti.

“Bukti sebenarnya sudah banyak, angka hipertensi naik terutama pada anak, diabetes melitus naik. Ada data dari tahun 2015-2021 untuk diabetes melitus tipe 2 yang disebabkan oleh pola konsumsi pada anak 0-18 tahun. 2015 ada 6,9 per 100 ribu penduduk, pada 2021 naik 16,5 per 100 ribu. Naik hampir 2,5 lipat dalam kurun waktu 7 tahun. Peningkatannya tidak drastis tapi naik, kalau dibiarkan bagaimana nanti. Dengan menujukkan bukti itu, seharusnya anggota dewan atau pihak pemerintah bisa mengadvokasi regulasi,” kata Windhu.

Selain cukai dinaikkan, regulasi lain yang bisa diterapkan yaitu aturan mengenai penerimaan negara untuk mengganti jika ada biaya yang keluar untuk kesehatan.

“Perhitungan biaya atau cost yang keluar akibat kondisi kesehatan. Jadi itu bisa kita hitung, namun bukan hanya biaya perawatan dan pengobatan, tapi juga mengganti biaya produktivitas yang hilang. Orang penghasilannya hilang karena sakit,” katanya

Windhu juga mengatakan, bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) saat ini sudah aware tentang diabetes pada anak, tinggal bagaimana pemerintah harus memberi perhatian lebih.

Di lain hal, terkait dengan kandungan gizi pada kemasan makanan dan minuman, ia mengatakan, bahwa hal tersebut memang harus ada.

“Regulasi tersebut sudah ada dan itu adalah ranah BPOM yang mengatur hal tersebut. Industri harus ngikut regulasinya,” jelas Windhu.

Selain harus menunggu perkembangan regulasi dari pemerintah, Windhu mengingatkan, dasarnya kesadaran kesehatan berasal dari masyarakat itu sendiri. Bagaimana nantinya masyarakat bisa mengurangi konsumsi makanan dan minuman berpemanis dan berkadar gula tinggi.

Yang terpenting, ia menjelaskan, adalah promosi kesehatan. Di mana pemerintah, masyarakat semua bersama dengan media harus terus memberikan edukasi, pemberian informasi yang benar terutama informasi perilaku hidup bersih dan sehat, salah satunya pola makan.

“Orang tua harus tahu kalau anak sejak kecil diajari pola makan. Karena pola makan merupakan kebiasaan yang diajarkan di rumah sejak kecil,” tambahnya.

Dia mengatakan orang Indonesia terbiasa “makan kalau belum ada nasi belum makan”. Hal tersebut, menurutnya, kebiasaan tersebut harus diubah masyarakat.

“Yang penting masyarakat harus tahu ada peningkatan diabetes di tengah masyarakat,” pungkasnya.(ihz/dfn/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs