Publik dikejutkan dengan pernyataan Mahfud MD Menkopolhukam soal temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dugaan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan sebesar Rp349 triliun.
Pernyataan ini kemudian direspons Sri Mulyani Menteri Keuangan yang menjelaskan ternyata hanya Rp 3,3 triliun yang menyangkut di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Ivan Yustiavandana Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebelumnya dengan tegas menyatakan bahwa transaksi mencurigakan sebesar Rp349 triliun terindikasi sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sementara Rabu (29/3/2023) siang nanti, Komisi 3 DPR RI akan menghadirkan Mahfud MD yang juga menjabat Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk rapat dengar pendapat (RDP) terkait transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.
Terkait gaduh-gaduh dugaan transaksi mencurigakan ini, Iqbal Felesiano pakar hukum pidana dari Universitas Airlangga menyebut, seharusnya ini tidak menjadi perdebatan yang tak berkesudahan dan menjadi ajang klarifikasi antar instansi yang namanya dicatut.
Seharusnya, aparat penegak hukum baik itu KPK, Polri maupun Kejaksaan segera merespons dugaan itu, dalam rangka penegakan hukum, supaya terduga pelakunya tidak melarikan diri beserta aset yang diduga mencurigakan.
“Harusnya ditindaklanjuti secara cepat, tidak jadi perdebatan di media sosial dan rapat yang di publik, kalau jadi perdebatan saja tidak ada maslahatnya ke masyarakat. Dilakukan tindakan tegas dari mana uang itu berasal, dilakukan penyidikan kalau tindak pidana. Kalau PPATK sudah ngomong (berarti) ada 70-80 persen itu (membuktikan) tindak pidana,” kata Iqbal dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Rabu (29/3/2023).
Menurut Iqbal sebelumnya tidak pernah ada dugaan transaksi mencurigakan terendus PPATK yang diungkap ke publik. Ini karena berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut. Biasanya, dari PPATK informasi langsung diteruskan ke penegak hukum.
Sehingga menurut Iqbal apa yang dilakukan Mahfud MD menjadi polemik di masyarakat. Di satu sisi bisa digunakan untuk mendorong penegak hukum mengusut kasusnya, mengingat laporan ini ada sejak tahun 2009. Sementara di lain sisi ini agak rawan karena pelaku bisa saja mengamankan asetnya di tengah kegaduhan yang belum jelas ujungnya ini.
Ia menjelaskan, proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap, yakni placement, layering dan integration. Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan. Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke beberapa tahapan transaksi keuangan. Sementara Integration, yaitu upaya pencucian uang melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya.
“Kalau langkah TPPU yang terendus dalam proses yang kedua, mereka tinggal langkah ketiga supaya aset diakui sebagai aset yang sah. Cepat itu, gak perlu hitungan hari. Kita harus segera berpikir ke depannya UU Perampasan Aset segera digolkan,” ujarnya.
Iqbal melanjutkan, TPPU adalah kejahatan lanjutan dari tindak pidana utama yang dilakukan pelaku untuk menyamarkan hasil kejahatannya. Tindak pidana utama yang dimaksud dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU di antaranya korupsi; penyuapan; narkotika; hingga di bidang perpajakan.
Sementara terkait modus, ada banyak cara pencucian uang yang dilakukan pelakunya. Tapi menurut Iqbal yang paling sering dilakukan adalah smurfing yakni dengan memecah transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku untuk menghindari pelaporan, lalu structuring, kiriman dana dari luar negeri, real estate carousel hingga perusahaan fiktif.(dfn/rst)