Jumat, 22 November 2024

Pakar: Brain Drain Bisa Dicegah jika Pemerintah Beri Insentif dan Fasilitas

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan

Fenomena brain drain melanda sejumlah negara di dunia. Tidak terkecuali di Indonesia. Menurut Silmy Karim Direktur Jenderal Imigrasi, terdapat 3.912 Warga Negara Indonesia (WNI) yang pindah kewarganegaraan jadi warga negara Singapura antara 2019 hingga 2023.

Selain itu, dilansir dari data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI, sekitar 1.000 mahasiswa asal Indonesia yang berusia 25-35 tahun, memutuskan untuk menjadi warga negara Singapura per tahunnya.

Alasan mereka pindah pun beragam. Mulai dari kesempatan bekerja, infrastruktur, dan pendidikan yang lebih baik. Silmy menyebut, WNI yang pindah ke Singapura adalah mereka yang masih berada di usia produktif dan memiliki keahlian.

Terkait fenomena tersebut, Damelina Basauli Tambunan dosen Universitas Ciputra (UC) menyebutnya sebagai sebuah dilema. Katanya, sebuah negara seharusnya ditopang oleh kalangan profesional.

“Supaya pengetahuan dan keterampilan tinggi yang mereka miliki bisa menjadi kontribusi bagi pengembangan sebuah bangsa,” terang Ketua Program Studi Magister Manajemen Universitas Ciputra ini dalam program Wawasan di Suara Surabaya, Rabu (16/8/2023).

Menurut Damelina, daya saing sebuah negara terletak pada tenaga terdidik dan profesional. Jika mereka pergi, Indonesia kehilangan talenta yang bisa memberikan inovasi dan atau penelitian yang baik.

“Sehingga negara harus membuat aturan atau insentif guna menjaga para profesional tetap bisa berkontribusi untuk negaranya,” terang Damelina.

Damelina menyebut, ada pelbagai alasan yang membuat seseorang memutuskan pindah kewarganegaraan. Mulai dari pendidikan, pekerjaan, serta kesempatan yang lebih terbuka di negara yang dipilih.

Namun, ada pula yang yang pernah sekolah di luar negeri namun memilih kembali ke Indonesia. Entah karena faktor keluarga atau ingin mengabdi untuk Tanah Air.

“Kalau saya lihat pemerintah sudah membuat program-program untuk memfasilitasi mereka kembali. Artinya mereka memang diberikan kesempatan untuk berkontribusi di Indonesia,” ujarnya.

Meskipun, masih banyak ditemui di mana kompetensi seseorang tidak sesuai dengan kondisi di satu negara. “Bukan berarti mereka tidak cinta Indonesia, tapi mereka tidak punya tempat. Atau kapasitasnya melebihi apa yang ada di sni,” ucapnya.

Situasi seperti ini bisa membuat seseorang tidak nyaman bekerja di Indonesia. Maka, supaya mereka dapat berinovasi di dalam negeri, maka harus disiapkan infrastrukturnya. “Jangan sekadar mengatakan ayo pulang, tapi sampai di sini mereka tidak diwadahi,” sebutnya.

Menurutnya, apa yang sejauh ini sudah pemerintah lakukan, seperti mengadakan diskusi dan sharing, itu akan memberi stimulus bagi mereka untuk berkontribusi kepada negara.

Ada beberapa stimulus yang bisa dilakukan agar brain drain ini tidak terjadi. Salah satunya memberi insentif kepada mereka agar mau kembali ke Tanah Air.

Sebab, jika kaum intelektual ini kembali ke Indonesia tanpa ada insentif finansial dan mereka harus memulai hidup dari nol, menurut Damelina, itu agak berat juga untuk mereka.

“Pemerintah harus membuat kebijakan yang baik, yang memberikan kesempatan karier, tempat yang sesuai, juga akses yang mendukung inovasi mereka,” sebutnya.

Kolaborasi pemerintah dengan luar negeri juga diperlukan. Jadi, saat kaum intelektual stay di Indonesia, mereka tetap memiliki jejaring atau akses ke luar negeri.

“Karena kalau hanya disuruh pulang saja, tapi fasilitas dan infrastrukturnya tidak disiapkan ya susah,” sebut Damelina.

Tak hanya fasilitas, negara juga harus bertransformasi menjadi sebuah good and clean government. “Tentu ini pekerjaan berat. Tapi menurut saya hal ini sudah dimulai. Arahnya sudah baik,” tuturnya. (saf/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs