Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan masyarakat untuk memperhatikan dua aspek sebelum berinvestasi. Kedua hal tersebut adalah legal dan logis.
Sebelumnya, OJK merilis data tentang kerugian masyarakat akibat investasi ilegal sejak 2018 hingga 2022. Nilainya sangat fantastis, mencapai Rp126 triliun.
Rincian kerugiannya antara lain; Rp1,4 triliun pada 2018, Rp4 triliun pada 2019, Rp5,9 triliun pada 2020, Rp2,54 triliun pada 2021, kemudian meroket Rp112,2 triliun pada 2022.
Menurut OJK, maraknya pelaku investasi ilegal di Indonesia disebabkan banyak hal, mulai dari kemudahan membuat aplikasi, web, dan penawaran melalui media sosial, serta banyak server di luar negeri.
Selain itu, masyarakat juga mudah tergiur bunga tinggi. Selain itu, menurut OJK, masyarakat belum paham paham betul apa itu investasi.
“Kalau mau investasi, ingat dua hal: legal dan logis,” ucap Ismirani Saputri Deputi Direktur Manajemen Strategis, EPK, dan Kemitraan Pemerintah Daerah OJK Regional 4 Jawa Timur (Jatim) dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Rabu (14/6/2023).
Maksudnya, OJK meminta masyarakat menelisik lebih dalam tentang entitas maupun platform yang menawarkan program investasi. Harus dipastikan bahwa platform tersebut berada dalam pengawasan OJK atau lembaga terkait lainnya.
“Saat berinvestasi, walaupun di tempat yang legal, harus baca petanya dengan jelas. Serta harus paham risiko sebagai investor,” ucap Ismirani.
Selain itu, masyarakat diminta bersikap logis ketika akan atau sudah berinvestasi. Jangan semata-mata tergiur dengan gondaan cuan saja.
“Biasanya, platform akan memiliki rating atau scoring. Sebagai sebagai lander bisa memilih mau memberikan ke yang mana, yang risikonya seperti apa. Kalau bermain di risiko tinggi, kita juga harus sadar bahwa risiko besar, meski return-nya juga besar,” jabarnya.
Selama ini, penipuan investasi marak terjadi karena masyarakat belum paham apa itu investasi. Faktor kedua adalah masyarakat bersikap kurang bijak dalam mengelola keuangan.
“Tapi dalam beberapa kasus, yang well educate juga bisa menjadi korban investasi bodong. Hal ini kembali ke karakter masing-masing,” jelasnya.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 menunjukkan, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen.
Sementara indeks inklusi keuangan pada 2022 mencapai 85,10 persen. Meningkat dibanding periode SNLIK
sebelumnya di pasa 2019, yaitu 76,19 persen.
Hal tersebut menunjukkan gap antara tingkat literasi dan tingkat inklusi semakin menurun. Dari 38,16 persen pada 2019 menjadi 35,42 persen pada 2022.
“Artinya, masyarakat belum memiliki keterampilan dan pengetahuan masalah keuangan. Hal ini berpengaruh ke keputusan dalam pengelolaan keuangan itu sendiri,” jelasnya.
“Di sisi lain, masyarakat sebenarnya sudah mengakses produk jasa keuangan. Hanya saja mereka belum paham. Akibatnya banyak penipuan dan pengaduan ke OJK,” imbuh Ismirani.
OJK, menurut Ismirani, akan terus mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dengan investasi bodong. Baik itu yang berbentuk binary option, robot trading, kripto, atau yang lainnya.
Sebab, meski sudah lebih dari enam ribu lembaga investasi ditutup sepanjang 2017-2023, tapi investasi bodong tetap marak hingga dewasa ini. Korbannya terus bermunculan.
Lantas, apa yang bisa dilakukan OJK terhadap masyarakat yang menjadi korban investasi bodong? Apakah uang mereka bisa kembali?
“Jika ilegal, tidak ada yang bisa menjamin (bisa kembali). Jika itu legal, kami akan membantu supaya lembaga tersebut sesuai dengan ketentuan, atau sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani,” jawab Ismirani. (saf/rst)