Antonius PS Wibowo Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut restitusi adalah salah satu hal penting yang dibutuhkan oleh korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Mereka memanfaatkannya dengan positif. Pertama adalah untuk kebutuhan pokok. Sebagian besar korban adalah mereka yang kurang mampu secara ekonomi, maka kalau mereka menerima restitusi memang dipakai untuk kebutuhan hidup,” kata Antonius dilansir Antara, Sabtu (29/7/2023).
Antonius menyampaikan hal tersebut dalam acara arahan pers TPPO yang digelar oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dalam rangka memperingati Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia (World Day against Trafficking in Persons).
Menurut data LPSK, para korban yang menerima restitusi memanfaatkan dana ganti kerugian tersebut dengan optimal karena pada umumnya korban TPPO adalah masyarakat berpenghasilan rendah.
Antonius mencontohkan ada beberapa korban TPPO yang menggunakan dana restitusi tersebut sebagai modal usaha, seperti korban TPPO di Jawa Tengah yang menggunakan dana restitusi untuk membuka kafe.
“Restitusi itu kalau pemanfaatannya produktif, itu sebenarnya punya aspek pencegahan. Dengan membuka kafe, kalau kafenya jalan, maka mereka akan punya penghasilan. Ketika mereka punya penghasilan, mereka tidak akan tertarik lagi dengan tawaran penghasilan lain di media sosial misalnya,” kata Antonius.
Menurutnya, jika dana restitusi dimanfaatkan dengan baik, restitusi memiliki aspek pemulihan korban sekaligus mencegah mereka menjadi korban TPPO lagi.
Antonius melanjutkan, dana ganti kerugian kepada setiap korban TPPO bisa berbeda, sebab dilihat dari salah satu komponen restitusi yakni kehilangan penghasilan.
“Dalam perkara TPPO, misalnya korban sudah dieksploitasi sembilan bulan dan hanya terima gaji satu bulan, berarti gaji delapan bulan belum dibayar. Itu akan dihitung oleh ahli restitusi LPSK sebagai penghasilan yang seharusnya diberikan,” ujar Antonius.
Dalam undang-undang TPPO, sebut Antonius, sangat dimungkinkan untuk menyita aset pelaku sebagai salah satu cara untuk memenuhi restitusi kepada korban.
“Dalam dinamikanya, restitusi masih belum diikuti oleh penyitaan aset, padahal dalam undang-undang TPPO dimungkinkan (untuk menyita aset),” ungkap Antonius.
Selain itu, sambung dia, kondisi dinamika lainnya adalah pelaku yang tidak berniat atau tidak mampu membayar ganti kerugian kepada korban.
“Dan itu berkaitan erat dengan undang-undang kita yang memang menyediakan yang kalau dia (pelaku) tidak mampu bayar, maka jalani hukuman kurungan sebagai pengganti,” pungkas Antonius. (ant/bnt/iss)