Mulyanto Anggota Komisi VII DPR RI menilai, perintah Joko Widodo Presiden kepada Kementerian ESDM untuk segera menyuntik mati pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara mencerminkan sikap pemerintah yang tunduk dan masih didikte pihak asing.
“Itu dapat merugikan negara, karena aset PLTU masih bernilai secara ekonomis, masih dapat memproduksi listrik dan memberi manfaat bagi masyarakat. Jadi, pemerintah jangan buru-buru menyuntik mati PLTU,” ujarnya di Jakarta, Jumat (27/10/2023).
Apalagi, lanjutnya, dengan mengunakan dana APBN di saat keuangan negara sedang kembang-kempis.
Menurutnya, sampai sekarang bantuan dari negara-negara donor belum terealisasi lantaran mereka sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Menyuntik mati PLTU, kata Mulyanto langkah yang kontraproduktif yang artinya mematikan aset produktif pembangkit listrik. Sehingga, harus ada biaya kompensasinya.
Legislator dari Fraksi PKS itu berharap negara donor yang sudah berjanji akan memberikan hibah atau dana murah untuk program itu melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) menepati komitmennya. Tapi, nyatanya belum ada bentuk konkretnya hingga saat ini.
Lebih lanjut, Mulyanto tidak setuju program transisi energi harus ditanggung APBN. Karena, yang berkepentingan terhadap program itu bukan hanya Indonesia.
“Biaya transisi energi semestinya ditanggung bersama. Kenapa kita harus merogoh kocek sendiri dari APBN untuk program yang bersifat global?” tegasnya.
Dia khawatir kalau pendekatan seperti itu berlanjut, maka APBN akan jebol, pembiayaan sektor lain terbengkalai. Ujung-ujungnya, tarif listrik naik dan masyarakat lagi yang dirugikan.(rid)