Data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya menunjukan 22 persen dari sekitar 1.600 ton sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo Surabaya didominasi sampah plastik.
Jumlah sampah plastik itu disebut masih sangat besar, meskipun sudah ada Peraturan Wali Kota Surabaya (Perwali) Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik di Kota Surabaya.
DLH Kota Surabaya kemudian mengungkapkan, pengurangan sampah plastik juga bergantung kepada kesadaran para produsen, diantaranya masyarakat hingga para pengusaha untuk membatasi penggunaan kantong plastik.
Menanggapi hal ini, Eddy Setiadi Soedjono Pakar Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya mengatakan sejauh ini mulai dari Undang-Undang, perwali, sampai aturan-aturan lain untuk menekan sampah sejatinya plastik sudah sangat baik. Tapi, kendala sebenarnya ada pada tata kelola sebuah sistem.
Masyarakat yang selama ini sudah diimbau untuk memilah sampahnya, terkadang tidak diikuti proses pengangkutan ke TPA yang tepat dan tertata. Menurutnya, pengangkutan sampah tingkat paling bawah di banyak daerah kebanyakan terkesan dilepas begitu saja, tanpa adanya arahan para pengangkut turut memilah.
“Selama pengambilan sampah oleh petugas masih diangkut dijadikan satu begitu saja, ya itu belum inovatif. Jadi apa gunanya masyarakat diajak untuk memilah kalau pas pengangkutan ke TPA ternyata dijadikan satu semua. Pengangkut sampah seharusnya juga diedukasi soal itu,” ujar Eddy saat mengudara di program Wawasan Radio Suara Surabaya, Kamis (6/7/2023).
Di Kota Surabaya, kata dia, kebanyakan gerobak sampah yang datang ke rumah-rumah memang belum diatur secara detail. Ada yang berupa tossa (motor dengan bak terbuka), atau gerobak dorong yang kebanyakan tanpa sekat antara sampah plastik dan organik.
“Surabaya pun ternyata gerobak sampahnya belum dipilah. Kalau pun sudah dipilah, biasanya tidak ada alat menimbangnya, itu terbukti dari kekhawatiran temen-temen DLH soal 352 ton lebih sampah plastik per hari yang ada di TPA,” bebernya.
Menurut Dosen Teknologi Pengolahan Air ITS itu, sudah saatnya pemerintah melalui jajaran di tingkat terbawahnya atau kelurahan ikut memberi arahan jelas soal pemilahan tersebut.
“Orang-orang yang punya kerjaan memilah sampah, biasanya punya penghasilannya besar. Jadi sebenarnya kalau mereka (tukang gerobak sampah) ikut diberdayakan tidak hanya dibayar Rp20-200 ribu untuk ngangkut-ngangkut saja, tapi di berdayakan soal nilai-nilai dari sampah plastik kalau diolah, tentu hasilnya sampah plastik tadi tidak hanya dibuang di TPA, tapi ada tambahan untuk mereka,” ungkapnya.
Meski demikian, diakui oleh Eddy, kalau pengolahan sampah di Surabaya memang terbukti sangat bagus jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Salah satu tolak ukurnya, yakni kebersihan kota yang mulai dicontoh kota-kota lain.
“Kalau kita lihat bagaimana bersihnya bukan cuma di dekat kantornya Pak Wali Kota saja. Kita juga sudah sampai level dimana menerangi setiap jalan dengan penerangan jalan umum (PJU), karena itu memang layak untuk menerangi jalan-jalan yang sudah bersih,” pungkasnya.
Sementara dalam diskusi yang diperdengarkan dalam program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (6/7/2023), publik mengaku sudah mengurangi penggunaan plastik setiap harinya.
Dari data Gatekeeper Suara Surabaya, 30 dari total 34 pendengar (88 persen) mengaku sudah mengurangi penggunaan plastik, salah satunya dengan membawa tumblr untuk kebutuhan tempat minum. Sedangkan, empat pendengar sisanya (12 persen) mengaku masih pakai air dalam kemasan untuk kebutuhan minum.
Begitu juga di instagram @suarasurabayamedia, 242 dari total 330 voters (73 persen) mengaku sudah mengurangi penggunaan plastik, sedangan 88 sisanya (27 persen) mengaku masih menggunakan plastik untuk kebutuhan sehari-hari. (bil/faz)