Mengentas kemiskinan tentu selalu jadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah dalam pembangunan, baik skala nasional maupun daerah.
Menurut Prof. Bagong Suyanto Guru Besar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), pengentasan kemiskinan harus dilakukan mulai dari kelas yang paling ekstrem, atau paling miskin.
Karena, kata dia, orang yang masuk dalam kelas tersebut dipastikan kesusahan bangkit dari kondisinya kalau tidak dapat perhatian atau bantuan khusus dari pemerintah.
“Kelompok mereka memang harus memperoleh perhatian khusus dan mendapat prioritas. Tanpa intervensi negara, susah bagi mereka untuk berkembang atau maju ke taraf kesejahteraan yang lebih baik,” ujar Prof. Bagong dalam program Semanggi Suroboyo Radio Suara Surabaya, Jumat (27/1/202).
Khusus untuk Kota Surabaya, lanjut Prof Bagong, jangan sampai yang jadi maskot hanya taman-taman kota-nya saja, yang memang sudah terkenal dan jadi perbincangan didaerah bahkan negara lain.
Sebisa mungkin, Guru Besar FISIP Unair itu meminta program pengentasan kemiskinan disulap jadi maskot dan pembeda dari yang sudah ada di daerah-daerah lain.
“Saya kira perlu disosialisasikan lebih luas bagaimana model program yang bisa menurunkan 83 persen angka kemiskinan itu. Saya kira harus yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat juga,” imbuhnya.
Sebelumnya disebutkan dalam surabaya.go.id, satu tahun terakhir jumlah warga miskin di Kota Surabaya Jawa Timur (Jatim) turun drastis. Tercatat pada awal tahun 2022, jumlah warga miskin di Kota Pahlawan mencapai 1,3 juta jiwa dan saat ini menjadi 219.427 jiwa atau turun drastis sekitar 83,1 persen.
Dosen Sosiologi Unair itu juga mengungkapkan kalau permasalahan kemiskinan, PR terbesarnya adalah perubahan mindset. Sebagus apapun program pengentasan kemiskinan, jangan sampai menciptakan adanya ketergantungan.
“Jangan sampai mereka ini berdaya, tapi justru tergantung, Nunggu program, bantuan dan sebagainya,” tuturnya.
Sementara itu menanggapi Prof. Bagong, Anna Fajriatin Kepala Dinas Sosial (Kadinsos) Kota Surabaya dalam kesempatan yang sama mengatakan, kalau di Kota Pahlawan sudah ada program pengentasan kemiskinan yang bisa jadi sudah diakui sebagai maskot.
Program tersebut, tak lain adalah program Padat Karya untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Kadinsos Surabaya itu menjelaskan, padat karya di Kota Pahlawan tentu berbeda dengan konsep umumnya, karena punya sifat pemberdayaan seperti yang disampaikan Prof. Bagong.
“Contoh seperti di Romokalisari Surabaya, kami (Pemkot) hadir disitu, dan semua hasil (padat karya) itu untuk warga sendiri. Tidak ada sepeser pun dibayarkan ke pemkot (seperti pajak dan sebagainya). Dan itupun mereka ada target waktunya untuk mentas dari program tersebut, dan keluar dari zona miskin,” urai Kadinsos.
Anna juga mengatakan, kalau padat karya tersebut juga punya kerjasama dengan perusahaan lain lewat corporate social responsibility (CSR) perusahaan atau lembaga lain untuk pemberdayaan dan pelatihan. Begitupula dengan penyandang disabilitas, juga diberdayakan dalam program tersebut.
“Jadi program padat karya ini beda ya. Bukan yang seperti bikin jembatan terus warganya dijadikan pekerjanya. Ini yang membedakan Surabaya dengan daerah lain,” jelasnya.
Kadinsos Surabaya itu juga mengungkapkan, kalau faktor turunnya jumlah warga miskin dari 1,3 juta jiwa menjadi 219.427 jiwa di Kota Surabaya, salah satunya karena intervensi pemkot melalui program padat karya.
“Penurunan ini setelah diberikan intervensi. Kemudian setelah dilakukan check in lagi (data warga) dengan kriteria atau indikator terkait dengan keluarga miskin,” kata Anna.
Ia juga menambahkan, sebelumnya daftar warga miskin di Kota Surabaya telah dilakukan verifikasi ulang. Verifikasi data warga miskin ini dilakukan bersama-sama oleh RT/RW, lurah, Kader Surabaya Hebat (KSH) serta masyarakat setempat.
“Ada proses verifikasi yang kemarin dilakukan berdasarkan usulan warga, dari KSH, RT dan RW,” pungkasnya. (bil/ipg)