Muryani Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) mengatakan, ketahanan pangan harus terus menjadi perhatian di Indonesia. Apalagi, isu tersebut saat ini terus meningkat.
Di Indonesia, kata Muryani, praktik impor beras masih terhitung relatif tinggi. Dalam tiga tahun terakhir, mengalami peningkatan sebesar 5-14 persen setiap tahunnya.
Ditambah pemerintah telah meniadakan subsidi pangan dan benih. Sehingga subsidi pupuk mengalami penurunan.
“Melalui pengintegrasian pembangunan ketahanan pangan dan gizi diharapkan kebutuhan pangan secara nasional maupun perseorangan dapat terpenuhi. Disebut terpenuhi bila tersedianya pangan secara cukup, memenuhi kebutuhan gizi, merata dan terjangkau, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya,” jelasnya dalam keterangan yang diterima, Minggu (29/10/2023).
Upaya melalui food estate, kata dia, dapat mengatasi permasalahan ketahanan pangan. Tetapi, program tersebut juga berpotensi merusak lahan di masa depan. Sebab membutuhkan pembukaan lahan hutan konservasi dan gambut secara besar-besaran.
Kerusakan yang dapat timbul terkait fungsi lahan gambut sebagai pengatur tata air, penyerap karbon, dan penjaga keberlangsungan keanekaragaman hayati.
Sehingga, bertolak belakang dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 sebesar 41 persen dengan bantuan internasional.
“Kehadiran food estate memicu konsekuensi negatif cukup serius, mengingat ekosistem yang baru memusnahkan ekosistem yang lama,” ucap pengampu mata kuliah Ekonomi Lingkungan tersebut.
Dengan kondisi itu, Muryani menawarkan solusi pangan. Ada tujuh, yakni pertama revitalisasi lahan tidur, yang merupakan area berpotensi pertanian tapi dibiarkan karena tidak ada usaha pemanfaatan di lahan tersebut.
Kedua, intensifikasi lahan pertanian dengan teknologi. Ketiga, subsidi tanaman pangan dengan konsisten. Keempat, penggalakan diversifikasi pangan.
Kelima, penegakkan Peraturan Perundangan Perlindungan Hutan. Keenam, pengendalian jumlah penduduk agar tuntutan kebutuhan pangan terkendali. Dan ketujuh, pembenahan kelembagaan atau tata kelola pangan.
“Intinya, harus diupayakan tanpa memberi dampak negatif pada lingkungan. Ini bisa dilakukan dengan melakukan pengkajian strategi kebijakan yang efektif dan efisien dengan mendudukkan semua stakeholders,” pungkasnya. (ris/saf/ham)