Hario Megatsari Ketua Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga melakukan riset berjudul “Anak Sekolah di Belantara Iklan dan Penjualan Rokok” yang mengungkap bahwa prevalensi perokok anak usia 10-14 tahun meningkat 16 kali lipat karena dipengaruhi iklan rokok.
Oleh sebab itu Hario mendorong pemerintah supaya melakukan revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran serta PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Sebab, dalam penelitian Hario yang bekerja sama dengan Center for Disease Control and Prevention Foundation, USA, menemukan bahwa empat dari tujuh pemicu anak merokok berkaitan dengan iklan. Baik iklan di TV, di luar ruangan, maupun di media sosial.
Hario telah melakukan riset terhadap 6.786 siswa dari 165 sekolah di Serang, Padang, Lombok Timur dan Banyuwangi. Hasilnya, 51,7 persen siswa sekolah setingkat SMP-SMA mengonsumsi rokok konvensional. Sementara 50,7 persen mengonsumsi rokok elektrik.
“Pada umumnya anak-anak usia SMP SMA merokok konvensional dua hingga lima batang sehari dan menghisap rokok elektrik sehari sekali,” kata Hario waktu diseminasi hasil penelitian tentang Iklan Tembakau dan Perilaku Merokok Pada Anak Sekolah di Indonesia, Selasa (16/5/2023).
Berdasarkan penelitian Hario, anak-anak mengaku paling sering terpapar iklan rokok di kios penjualan rokok. Selanjutnya disusul oleh papan reklame, internet, televisi, serta majalah/koran.
Sementara itu, lanjut Hario, mereka mengatakan tidak pernah menerima promosi rokok melalui kaos, voucher, maupun tawaran rokok gratis dari perusahan rokok.
Perlu diketahui, iklan rokok di Indonesia yang mengacu pada UU penyiaran maupun PP 109/2021 masih berupa pembatasan, belum pelarangan secara total.
Sementara itu Eva Susanti Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa upaya pelarangan total iklan rokok menemui tantangan yang cukup besar.
Menurut Eva, revisi regulasi tidak cukup dalam menekan prevalensi peningkatan angka merokok pada anak. Dia mengatakan perlu adanya penegakan hukum secara tegas.
Dalam hal ini peran pemerintah dinilai cukup strategis. Sebab upaya penegakan bisa diturunkan ke Pemerintah Daerah melalui Perda yang punya kekuatan hukum dalam menegakkan regulasi di wilayah setempat.
“Akan kita tingkatkan lagi, bagaimana mengajak daerah menjalankan strategi ini,” ujar Eva yang hadir secara online lewat Zoom.
Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri sebagai koordinator pelaksanaan Pemda telah melakukan beberapa upaya untuk turut menekan dan membatasi angka merokok. Salah satunya melalui Surat Edaran Nomor 454/2023/SJ April 2023 tentang penerbitan Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Per 2023, hanya empat provinsi yang baru menerapkan KTR. Yakni Bengkulu, Bali, Jambi, dan Jatim. Terakhir, Kemendagri juga menyebut, KTR harus menjadi prioritas perencanaan pembangunan tiap daerah.(wld/ihz/ipg)