Jumat, 22 November 2024

Disorot Publik, Batasan Usia Kerja di Lowongan Kerja Seharusnya Dihapus

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Pekerja di depan komputer. Ilustrasi: Pixabay

Ramai dibahas di media sosial soal batasan usia kerja, dan dianggap diskriminatif diamini oleh seorang praktisi SDM. Mematok usia kerja tanpa melihat kompetensi, sudah tidak relevan lagi di era saat ini.

Ferry Wirawan Tedja Konsultan dan Praktisi Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) mengatakan, produktivitas dan efektivitas tenaga kerja tidak hanya bisa dilihat dari usianya semata.

Dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Rabu (15/3/2023), Ferry menyebut, iklim industri tenaga kerja di Indonesia berbeda dengan di negara maju.

Di Indonesia, kebanyakan lowongan pekerjaan ada syarat usia yang batas maksimalnya sangat muda, misalkan di kisaran 30 atau bahkan 25 tahun.

Sementara banyak negara yang sudah menghapus batasan usia kerja. Misalnya di Prancis yang sejak tahun 2005 menghapus pembatasan umur bagi calon tenaga kerja, baik pegawai negeri maupun karyawan swasta. Juga di Amerika, lowongan perkerjaan di instansi pemerintah (State maupun Federal) mencantumkan keterangan terkait semua calon pekerja mendapat kesempatan yang sama tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin dan usia.

“Bisa dipahami juga kita negara yang sangat produktif.  Kita dapat bless in disguise ketika tidak membatasi angka kelahiran, ternyata kita mendapat limpahan tenaga kerja produktif di mana flow kelahiran ternyata sangat baik dalam demografi penduduk Indonesia,” ujarnya.

Sehingga tak heran bila di negara maju rekrutmen pekerjanya tidak dibatasi oleh usia, asal kompetensinya sesuai. Selain mempertimbangkan kompetensi, ini juga karena penduduk di negara-negara tersebut angkatan kerjanya kian menua, seperti di Jepang.

Namun apa yang dilakukan negara maju, masih bisa diadopsi pula di Indonesia di tengah berlimpahnya angkatan kerja produktif, kata Ferry.  Jalan tengahnya adalah dengan memahami bahwa antara tenaga kerja usia muda dan yang sudah berumur punya kemampuan berbeda, tapi tak mesti jadi pembeda.

“Ini diperlukan wisdom (kebijaksanaan) bahwa orang yang usianya 50 kecenderungannya berbasis pada pengalaman, yang lebih muda berbasis pada keenceran kemampuan dalam menyelesaikan problem baru. Komposisi demografi karyawan dalam suatu perusahaan perlu diatur,” jelas CEO di Samahita Global Investama ini.

Ia mencontohkan kejatuhan beberapa startup yang menurutnya karena tidak ada orang yang cukup bijaksana yang bisa memimpin mereka, semua lini diisi oleh anak muda.

Padahal yang dibutuhkan oleh perusahaan agar bisa berkembang adalah inovasi. Ini, menurut Ferry, tidak bisa diwujudkan apabila dalam perusahaan diisi oleh karyawan dengan usia, ras, hingga agamanya semua sama.

“Bagaimana muncul inovasi kalau orangnya seragam,” Ferry mempertanyakan.

Pihaknya juga mendukung supaya perusahaan juga memberi kesempatan terhadap fresh graduate meski minim pengalaman kerja. Ia mengingatkan ada yang namanya hard skill dan soft skill. 

Somehow yang kita beli adalah potensi dan soft skill, yaitu inteligensi plus soft skill, mau belajar, peduli. Kalau itu ada sebenarnya bukan halangan merekrut orang muda,” sebutnya.

Ia menyayangkan masih banyak perusahaan yang salah kaprah terkait definisi rekrutmen dan seleksi. Padahal itu adalah dua hal yang bertolak belakang. Dalam proses rekrutmen, makin banyak orang yang tertarik dengan perusahaan berarti itu hal baik.

“Pada proses seleksi itu terserah perusahaan. Saya sangat mengkampanyekan untuk melihat kompetensi, mengesampingkan stereotipe yang terjadi kalau tua lemes, muda gak punya pengalaman,” kata Ferry.

Ferry menyarankan agar HRD mendengungkan kepada pelaku bisnis dan orang pemerintah untuk merekrut berdasarkan kompetensi, bukan batasan usia.

“Saya pro pada kompetensi, jadi jangan hanya lihat usia tapi kemampuan SDM, Lihat aja kompetensinya kalau memang kompeten ya monggo, kalau tidak kompeten ya sudah selesai,” pungkasnya.(dfn/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
32o
Kurs