Pemerintah mulai menyoroti fenomena jasa titip (jastip) barang-barang luar negeri yang tengah menjamur di tengah masyarakat. Kegiatan bisnis tersebut dinilai merugikan negara, karena potensi perolehan pajak import berkurang.
Askolani Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyebut usaha jastip luar negeri merugikan negara karena masuk secara ilegal. Usaha itu seharusnya membayar barang dan bea masuk, karena tidak bayar bea masuk, seolah olah barangnya lebih murah.
“Usaha ini tidak fair bagi pengusaha legal yang sudah membayar pajak. Barang barang jastip ilegal kadang ditemukan di kantor pos, di bandara dan pelabuhan,” terangnya Selasa, (14/2/2023).
Senada dengan Askolani, Fajri Akbar pengamat pajak dari Indonesia Taxation Analysis mengatakan, statemen soal jastip yang merugikan negara adalah wajar dan tepat.
“Saya menilai statemen pak Askolani wajar dan biasa biasa aja, karena emang jastip ilegal merugikan negara. Sebab potensi pajak impor itu juga besar bisa lebih dari 6 T menjadi hilang. Sekarang jadi ramai diperbincangkan karena yang pertama masyarakat kita belum begitu mengetahui regulasi perpajakan, mereka tidak tahu kalau jastip itu juga harus bayar pajak impor. Lalu sekarang ada moral hazard dimana masyarakat kita takut ada penindakan,” kata Fajri saat berbincang di Program Wawasan Suara Surabaya, Senin (20/2/2022).
Sekarang yang harus dilakukan oleh pengusaha jastip adalah memenuhi prosesdur perpajakan yang tepat, sehingga tidak merugikan negara, kata Fajri.
Tidak hanya soal pajak, tapi dengan banyaknya jastip toko-toko di mall juga terancam bangkrut. Konsumen akan memilih barang yang murah, karena jastip tidak membayar pajak. Dia mengatakan dampaknya industri dalam negeri yang kurang kompetitif, dan itu menjadi dampak besar, toko tutup dan banyak yang menganggur. Inilah yang harus dipikirkan bersama.
Bagi Fajri, pajak yang sudah diatur dalam ketentuan negara haruslah diikuti. Jastip yang tidak membayar pajak, tetaplah salah dan melanggar hukum karena dilanggar.
“Selanjutnya, negara juga harus hadir agar kepatuhan pajak meningkat. Beri pemahaman, fasilitasi dengan sosialisasi yang genjar tentang pajak impor. Mungkin nanti ada pintu kusus di bandara bagi pengusaha jasa titip, karena mereka membawa barang lebih banyak dan juga membayar pajak. Petugas Bea Cukai juga harus lebih ramah dan layanan lebih sederhana agar masyarakat mau membayar pajak barang yang dibelinya dari luar negeri,” tambah Fajri.
Menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai beberapa modus yang sering digunakan pemilik usaha jastip luar negeri diantaranya :
1. Splitting barang
Barang akan displitting atau dipecah ke orang-orang agar tidak melebihi pembatasan biaya bea dan terhindar dari pajak. Pembatasan bea masuk barang pribadi dan oleh-oleh dari luar negeri hanya dibatasi USD500 atau Rp7 juta.
2. Menggunakan kurir dan barang kiriman
Pelaku usaha jastip akan memanfaatkan de minimis value (nilai pembebasan) barang kiriman dengan memecah barang kiriman jadi beberapa pengiriman di bawah de minimis value. Cara itu dilakukan dalam hari yang sama dan jumlah yang ekstrem.
3. Memisahkan kemasan dengan barang
Cara lain adalah memisahkan barang dengan kotak agar tidak ketahui. Pelaku jastip akan mengirim kotak terpisah lewat kurir dan diantar menuju alamat yang sama.
Dari beragam modus tadi, Ditjen Bea dan Cukai menyebutkan sudah menerapkan program anti splitting, Program ini berupa sistem komputer pelayanan yang mengenali secara otomatis nama penerima barang yang mencoba memanfaatkan celah pembebasan bea masuk dan pajak impor barang. (rst)