Perum Damri Surabaya mengakui adanya evaluasi tarif dengan Kementerian Perhubungan RI dan PT INKA (Persero) dalam kontrak yang perlu kembali disepakati. Persoalan itu jadi salah satu faktor bus listrik berhenti beroperasi.
Yulianto General Manager Perum Damri Surabaya mengatakan, sebenarnya besaran tarif antara Damri, PT INKA, dan Kemenhub itu sudah disepakati sejak awal penandatanganan kontrak kerja per tanggal 18 – 31 Desember 2022.
“Terhadap kontrak, evaluasinya di tarif rupiah kilometer, sebetulnya bukan tarif ke masyarakat. Tarif yang ada di kontrak itu sendiri. Itu salah satunya. Seperti harga kWh itu perlu disepakati lagi. Yang lalu perlu dievaluasi lagi, tarif yang ditetapkan oleh PLN, investasi yang kita lakukan dan lain-lain. Yang harus disepakati Damri, PT INKA (Persero), dan Kemenhub,” kata Yulianto, Senin (9/1/2023).
Tapi, seiring operasional berjalan, banyak tarif kebutuhan di lapangan yang berubah.
“Sudah ada kesepakatan. Apa pun kalau tarif berkontrak sudah berkesepakatan. Tapi dalam perjalanannya ada komposisi yang harus disesuaikan kembali. Seperti upah SDM-nya kan mengalami kenaikan UMK tentunya kan gitu. Hal kecil itu,” paparnya lagi.
Sementara untuk besaran tarif Rp6.200 bagi penumpang umum, menurutnya, tidak ada masalah.
“Kalau tarif dalam kontrak saya tidak bisa menyebutkan. Tapi kalau yang ditetapkan oleh Kemenhub Rp6.200 itu sudah ketetapan Kemenhub. Sekali naik, satu PP (pulang pergi). Ketika orang naik dari Bungurasih (Terminal Purabaya) ke Kenpark tidak turun, kembali lagi ke Bungurasih, tetap Rp6.200. Nanti tetap segitu setelah kontrak 2023, belum ada perubahan,” jelasnya.
Ia memastikan tidak ada wacana perubahan tarif penumpang.
“Saya kira tidak (ada evaluasi). Itu sudah ditetapkan. Itu juga integrasi kalau tarif sesama BTS tidak bayar lagi,” pungkasnya. (lta/iss/ipg)