Kesusahan yang dialami pasangan suami istri Yunita Puji Lestari (37 tahun) dan Choirul Anam (37 tahun) perlahan teratasi. Empat dari enam anaknya yang putus sekolah, akhirnya bisa kembali mengenyam pendidikan.
Muhammad Zaki (10 tahun) putra bungsu mereka paling bungsu putus sekolah sejak SD. Begitu juga Ramadhan Kurniawan (12 tahun) terakhir mengenyam pendidikan kelas dua SD semester satu.
Kemudian, Rio Firmansyah (16 tahun) anaknya yang kedua juga tak lagi sekolah setelah kelas dua SD. Ferdi Rangga Pratama (18 tahun), anak sulung mereka yang merasakan bangku sekolah paling tinggi dibanding saudaranya lain pun, terpaksa putus sejak SMP kelas satu tahun lalu.
Keterbatasan biaya, jadi alasan dominan yang membatasi kelanjutan pendidikan keempatnya.
Sehari-hari, Yunita hanya sebagai ibu rumah tangga yang harus mengurus total enam anaknya, serta satu janin yang sedang dalam kandungan. Kebutuhan hidup mereka, bergantung pada Choirul yang hanya pengayuh odong-odong mainan anak-anak.
Sejak Pandemi Covid-19, pekerjaan Choirul satu-satunya itu pun terdampak dan berhenti. Dia kemudian banting setir jadi pangamen dengan penghasilan seadanya.
Di rumah petak berukuran 1,5 x 2,5 meter untuk delapan anggota keluarga itu, Yunita pun terpaksa berjualan lontong mie demi membantu suaminya yang tak bisa lagi mengamen sebulan terakhir karena sakit.
“Ini rumah nenek, dibagi petak-petak jadi empat. Saya jualan lontong mie sehari biasanya sekilo, bisa dapat Rp40 ribu,” kata Yunita pada suarasurabaya.net, Rabu (14/6/2023).
Yunita tak menampik kalau penghasilannya tetap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dua anaknya yang paling tua bahkan harus tidur di masjid setiap hari, karena rumahnya tidak cukup untuk ditinggali.
“Mandi di sana juga, (anak pertama dan kedua) bantu-bantu di masjid jadi remaja masjid,” katanya lagi.
Bukan hanya tidak layak untuk ditinggali atau ditiduri, bahkan mandi, buang air kecil dan BAB pun ia harus memakai kamar mandi umum yang jaraknya 20-an meter dari rumah.
Sesekali air matanya jatuh ketika mengakui tak selalu bisa memotivasi anak-anaknya agar tetap melanjutkan sekolah. Tapi yang ia ingat, beberapa tahun lalu sudah berusaha meminta bantuan ke petugas kelurahan untuk memperjuangkan sekolah anak-anaknya gratis tanpa biaya.
Tapi petugas kelurahan memintanya bersabar menunggu sampai terdaftar sebagai Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), yang kini namanya berganti menjadi Keluarga Miskin (Gamis).
“Baru ini ada petugas pemkot yang datang, mungkin tetangga-tetangga yang bilang. Dulu, saya pernah ke kelurahan. Tapi katanya, saya tidak terdaftar MBR. Sekarang namanya Gamis. Tahun kemarin, katanya bilang (kuota) MBR sudah habis. Baru tahun ini saya terdaftar. (Selama ini) tahu semua RT/RW kalau anak-anak tidak sekolah. Tapi, kata kelurahan tunggu MBR keluar. Karena kan kalau tidak terdaftar MBR nanti sekolahnya bayar,” terang Yunita yang tak lagi mampu membendung tangis air matanya.
Ia tak berhenti menangis terharu, ketika Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya dan jajaran pemkot lainnya bersama ketua RT mendatangi rumahnya dan mengantar sejumlah bantuan. Termasuk, menjanjikan kelanjutan pendidikan bagi keempat anaknya.
“Saya berhenti sekolah karena biaya nggak ada dan lokasinya jauh. Dulu saya sekolah waktu pandemi daring tapi setelah belajar tatap muka, saya dibayarin budhe naik ojek online, tapi terus budhe keluar kerja gak ada yang bayarin lagi. Sempat dibantu sekolah Rp300 ribu untuk cari sepeda, tapi gak menemukan yang ukuran saya, uangnya saya kembalikan lagi,” beber Ferdi Rangga anak pertama Yunita dan Choirul.
Ferdi yang terlambat masuk SD ketika sudah berusia sembilan tahun itupun berjanji akan semangat sekolah. Begitu juga, dengan ketiga adiknya yang segera melanjutkan pendidikan.
Yunita sedikit bisa bernapas lega. Selain empat anaknya yang putus sekolah kembali melanjutkan pendidikan, anak kelimanya yang baru berusia tujuh tahun pun segera sekolah tahun ini. Meski masih ada Renita, bayi satu tahun yang masih harus ia besarkan, serta janin yang dikandungnya selama delapan bulan segera dilahirkan.
Sementara Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya, dalam kesempatan itu menampik jika pemkot baru tahu kondisi keluarga Choirul dan Yunita.
“Bukan (tidak pernah dibantu) anak-anaknya yang tidak sekolah, tapi dia (anaknya) yang tidak mau (sekolah). Berarti motivasi orang tuanya yang gak bisa. Padahal KSH dan PKK datang terus. Ini laporan dari Kader Surabaya Hebat (KSH), RT juga, saya minta camat lurah cek dulu ketika tahu, baru saya turun (hari ini). Saya ingin ada keterbukaan antara warga dan camat, lurah,” terangnya.
Eri menyebut usai hari ini, pemkot akan melakukan intervensi menyeluruh untuk keluarga miskin ini. Yunita akan menjalani operasi steril untuk mencegah kehamilan, Choirul dicek kesehatan untuk mendeteksi sakit batuknya yang menggerogoti tubuhnya hingga dibantu berobat.
Kemudian keempat anaknya yang putus sekolah akan dibantu pendidikan, begitu juga anaknya yang kelima akan masuk SD tahun ini tepat diusia tujuh tahun.
“Jadi anak ini sudah sekolah di sekolah terbuka, tapi ketika pandemi dia putus sekolah lagi. Jadi saya sampaikan, butuh sekolah lagi. Nanti saya pantau sendiri,” tambahnya.
Sekedar diketahui, pemkot membawa sejumlah bantuan barang yang diberikan ke keluarga hari ini. Dua buah sepeda angin, almari plastik, dua kasur, dua bantal, dua guling, dua paket sembako, dan dua beras seberat 25 kilogram. (lta/bil/ipg)