Semakin berkembangnya Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, sedikit demi sedikit mulai menyentuh media informasi.
Terbaru ada chat bot seperti Chat GPT berbasis AI yang bisa menjawab pertanyaan apapun. Kemudian Google juga mengembangkan chat bot Bard yang punya fitur sama dengan Chat GPT, tapi sanggup mengambilkan jawaban langsung dari data-data terbaru di jagat internet.
Merambahnya AI di bidang tersebut membuat banyak pihak khawatir peran atau profesinya tergantikan, khususnya di dunia pekerjaan jurnalistik.
Konten berita yang sebelumnya harus melewati proses pencarian data di lapangan, editing dan persetujuan dari redaktur untuk ditayangkan, bisa saja dipangkas dengan adanya teknologi AI.
Pertanyaannya, bisakah AI benar-benar menggeser para Jurnalis? Ryan Adi Djauhari Kepala Public Relation (PR) dan Profesional PR Universitas Dinamika (Undika) Surabaya punya pandangan berbeda. Di mengatakan kalau para Jurnalis tidak semestinya khawatir posisinya tergeser.
Menurutnya AI justru tidak akan berfungsi tanpa adanya jurnalis karena punya keterbatasan, seperti hanya bisa menghimpun informasi berdasarkan data yang sudah ada dan terlebih dulu diolah jurnalis.
“Karena AI sendiri gak bisa jalan kalau jurnalis gak ada. Gimana bisa dia (AI) memproses program-program itu. Apalagi kalo udah berhubungan dengan komunikasi dua arah, misalkan public relation dan wartawan contohnya yang dalam penyampaian selalu ada unsur emosional,” jelas Ryan dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Kamis (9/2/2023).
Dengan sistem kerja AI yang cenderung mengambil informasi dari jagat internet, kata dia, bisa menjadi sebuah masalah jika data tersebut punya banyak versi. Untuk itu, perlu dilakukan klarifikasi dan pendalaman.
Untuk itulah, menurut Ryan komunikasi dua arah jadi salah satu aspek terpenting yang tidak bisa dilakukan oleh AI. Apalagi, kalau hubungannya pendalaman fakta kepada narasumber hingga hal-hal yang sifatnya klarifikasi.
Oleh karenanya, bukannya takut, Dosen Undika itu justru berharap agar para Jurnalis memanfaatkan AI sebagai supporting mereka, seperti halnya dalam pengumpulan data atau referensi menulis.
“Misalkan data penyimpanan. Ketika nanti mereka (Jurnalis) butuh sebuah informasi, mereka punya berkas atau dasaran untuk validasi atau referensi dari berita yang akan mereka buat,” jelasnya.
Untuk itu, insan pers diharapkan sebisa mungkin segera beradaptasi dengan perkembangan teknologi tersebut. Bukan malah menolak dengan alasan tergeser kinerjanya dan sebagainya.
Sebagai informasi dari polling yang dilakukan Suara Surabaya Media Kamis hari ini, sebagian besar responden memang masih memilih profesi dan karya jurnalistik dilakukan oleh manusia. Namun, jumlah yang memilih AI ternyata juga cukup banyak.
Dari data yang dihimpun Gate Keeper, sebanyak 13 dari 33 pendengar (39 persen) memilih AI menggantikan manusia dalam kegiatan jurnalistik. Sedangkan sisanya, memilih aktivitas jurnalistik tetap dilakukan oleh manusia atau konvensional.
Sementara dari polling di instagram @suarasurabayamedia, 241 dari 396 responden (61 persen) masih memilih profesi jurnalistik dilakukan oleh manusia, dan 155 sisanya (39 persen) memilih digantikan oleh AI. (bil/ipg)