Puan Maharani Ketua DPR RI menyayangkan peristiwa bentrokan yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau antara warga dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Dia menekankan perlunya pendekatan secara humanis yang mengedepankan persuasi dengan warga.
“Walau pun ada penolakan dari masyarakat, semestinya tidak perlu ada tindakan represif. Seharusnya aparat bisa lebih humanis dan bersifat persuasif untuk berdialog bersama warga,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (9/9/2023).
Bentrokan dipicu penolakan masyarakat adat Pulau Rempang atas pembangunan kawasan industri di lahan pulau seluas 17 ribu hektare.
Rencana membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata itu masuk daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 sebagai Rempang Eco City.
Bentrokan terjadi saat tim gabungan berusaha menerobos masyarakat yang berjaga di Jembatan IV Barelang Pulau Rempang karena menolak pengukuran dan pemasangan patok di wilayah tersebut.
Pemblokiran dilakukan warga dengan membakar sejumlah ban dan merobohkan pohon di akses jalan menuju kawasan Rempang.
Petugas tetap berupaya memasang patok, dan menembakkan gas air mata serta water cannon untuk melerai kericuhan.
Akibat adanya tembakan suara letupan dari gas air mata, siswa-siswa SD di Pulau Rempang berteriak histeris ketakutan. Sejumlah siswa SMPN 22 yang berjarak 100 meter dari ruas Jalan Trans Barelang turut menjadi korban bentrok tersebut.
Uap gas air mata yang ditembakkan ke udara oleh aparat terbawa ke kompleks sekolah dan membuat para siswa dan guru nyaris pingsan, bahkan sampai ada yang lari ke kawasan hutan untuk menghindari udara pengap akibat gas air mata.
Puan mengatakan, seharusnya aparat keamanan tidak lagi menggunakan gas air mata.
“Kalau memang ada kericuhan, gunakan pendekatan lain. Seharusnya kita belajar dari pengalaman sebelumnya bahwa penggunaan gas air mata bisa berdampak fatal,” tuturnya.
Mantan Menko PMK itu menilai, penolakan suatu pembangunan biasa terjadi. Menurut Puan, penolakan-penolakan tersebut seharusnya disikapi dengan cara-cara kemanusiaan dan bersifat persuasif.
“Apalagi jika pembangunan ini demi peningkatan perekonomian rakyat, maka jangan sampai merugikan rakyat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Puan juga menekankan pentingnya kajian sosial budaya mengingat Pulau Rempang erat dengan keberadaan masyarakat adat yang hingga hari ini berusaha mempertahankan ruang hidup mereka.
Dia meminta Pemerintah mencari jalan tengah terkait permasalahan itu, termasuk bagaimana menyikapi respons warga yang menolak direlokasi.
“Daerah Rempang memiliki kekayaan budaya yang unik. Pemerintah harus menghargai dan melindungi warisan budaya ini dalam proses pembebasan lahan. Ini harus dilakukan dengan hormat dan penuh kehati-hatian,” paparnya.
Aparat keamanan pun diingatkan kembali bersikap lebih humanis dan persuasif daripada memaksa masuk. Hal itu sesuai pernyataan Jenderal Listyo Sigit Prabowo Kapolri yang menyebut musyawarah dan sosialisasi harus menjadi prioritas untuk menyelesaikan masalah.
“Pendekatan humanis dan persuasif dalam pembebasan lahan di Rempang Batam perlu dilakukan untuk menghindari bentrokan dan perlawanan yang berpotensi berakhir dengan korban,” ungkap cucu Bung Karno itu.
Selanjutnya, Puan mengingatkan jangan sampai pelaksanaan tugas pengamanan mengesampingkan nilai kemanusiaan, terutama dalam menghadapi masyarakat.
“Apabila ada tindakan pidana, silakan diproses secara hukum. Tapi, bukan berarti langkah represif aparat dibenarkan. Apalagi penggunaan gas air mata memiliki efek yang membahayakan bagi kesehatan, khususnya terhadap anak-anak,” ucapnya.
Puan berharap persoalan ini dapat menemukan jalan terbaik untuk semua, baik untuk masyarakat dan pelaksanaan pembangunan Rempang Eco City itu sendiri.
“Kami di DPR akan berkomitmen mencari solusi atas permasalahan ini. Mari kita cari jalan keluar terbaik, yang tidak merugikan masyarakat. Kita upayakan secara persuasi,” sebutnya.
Menurut BP Batam, pembangunan Rempang sebagai PSN 2023 tertuang dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional dengan nilai investasi yang ditaksir mencapai Rp 381 triliun hingga tahun 2080.
Puan pun mengapresiasi langkah Pemerintah tentang pengembangan Pulau Rempang yang diharapkan dapat memberi dampak terhadap pertumbuhan ekonomi bagi Kota Batam serta kabupaten atau kota lain di Provinsi Kepulauan Riau.
Namun, Pemerintah dan pihak terkait lainnya didorong untuk mengedepankan dialog dan konsultasi yang inklusif dengan masyarakat yang terdampak.
“Ini harus melibatkan rasa karena warga sudah lama tinggal di sana. Dengarkan kegelisahan dan kekhawatiran mereka. Serta apa kebutuhan warga sebagai upaya mencari jalan keluar dari kebuntuan. Saat masyarakat merasa didengar, biasanya mereka akan merasa lebih terbuka,” imbau Puan.
Puan menyebut, diperlukan pendekatan yang berbeda saat menghadapi masyarakat adat dengan mengedepankan unsur persuasi.
“Berikan masyarakat edukasi dan informasi tentang keuntungan adanya proyek strategis nasional. Ini akan membantu mereka dalam membuat keputusan yang tepat dan merasa lebih termotivasi untuk mendukung proses pembangunan di wilayah mereka,” tutupnya
Sekadar informasi, Masyarakat Adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak relokasi pembangunan Eco City.
Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka.(rid)