Jumat, 22 November 2024

Beda Cerita Keluarga Pasien Meninggal RS Soewandhie, Tolak Dirujuk ke RS Lain Karena Arahan Perawat

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Yesi dan Dea anak Asiasih, pasien meninggal di RSUD Dr. Mohamad Soewandhie menangis saat menerima takziah Reni Astuti Wakil Ketua DPRD Surabaya, Jumat (2/6/2023). Foto: Meilita suarasurabaya.net

Keluarga Asiasih (52 tahun) pasien asal Tanah Merah Kali Kedinding Kenjeran Surabaya yang meninggal di RS Soewandhie usai antre kamar ICU, membantah penolakan rujukan seperti yang diceritakan pihak rumah sakit.

Di tengah selimut duka, Yesi anak kandung Asiasih mengingat lagi kronologi ibunya masuk ke RSUD Dr. Mohamad Soewandhie Sabtu (27/5/2023) malam lalu.

“Masuk IGD, sampai tiga hari. Diatasi dokter jaga di IGD, diberi infus, alat bantu napas yang tekanan belum tinggi dan satu obat saja. Ibu saya kondisinya masih bisa makan,” kata  ditemui di rumahnya, Jumat (2/6/2023).

Ibunya harus dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) sambil menunggu antrean kamar rawat inap yang penuh.

“Diberi tau kalau ibu saya harus dirawat inap tapi nggak ada kamar dan nunggu antre 17. Mungkin maksud saya (seharusnya) diupdate tiap hari antrean (sudah sampai urutan) berapa. Karena saya jaga ibu saya (kondisinya) semakin menurun. Kalau ada reaksi antibiotik kan (seharusnya) membaik. (Namun) untuk dapat kamar pun itu harus mohon-mohon,” terangnya.

Dia pun mengklarifikasi, tidak ada tawaran dari rumah sakit pada keluarga agar pasien dirujuk saat kamar inap penuh. Hingga akhirnya Yesi berusaha mencari sendiri kamar inap di rumah sakit lain.

“Di awal tidak ditawari waktu kamar penuh. Gak nawarin rujuk, lalu gak ada update (setiap hari) antrean kurang segini. Saya inisiatif cari koneksi di luar untuk cari kamar. Saya waktu tau kamar penuh, sampai melas-melas (mencari belas kasihan), saya juga usaha ke teman yang kerja di RS Mitra Keluarga biar bisa masuk kamar sana. Terus dicarikan kamar tapi minta hasil lab,” jelasnya.

Namun, lagi-lagi, persyaratan perawatan dari rumah sakit lain mengharuskan Yesi menyertakan dokumen hasil laboratorium termasuk rekam jantung ibunya. Tapi permintaan itu ditolak petugas RSUD Dr. Mohamad Soewandhie.

Hingga akhirnya Senin (29/5/2023) Asiasih mendapat ruang perawatan. Namun kondisinya terus menurun hingga rumah sakit memberitahu pasien harus dipindah ke ICU. Namun, ruangan itu juga sedang penuh.

Yesi mengakui menandatangani surat penolakan rujukan karena arahan perawat yang tidak berani menjamin pasien dapat ruangan di rumah sakit lain. Petugas juga menyebut fasilitas peralatan ambulans tidak memadai untuk membawa Asiasih pindah RS.

“Sampai akhirnya hari Senin ibu saya masuk kamar (Ruang Teratai), Selasa memburuk, RS bilang harus ke ICU. Tapi, penuh. Jadi harus dirujuk. Tapi RS bilang, kalau dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo belum tentu dapat kamar dan tahapnya harus mulai nol lagi. Terus, ambulans alat fasilitasnya gak memadai untuk status kondisi ibu saya. Akhirnya saya tanda tangan surat penolakan, karena ada omongan (dari suster) seperti tadi, jadi ya keluarga meminimalisir risiko,” bebernya lagi.

Pelayanan tidak mengenakkan lain juga dialami Yesi saat meminta tolong dokter memeriksa ibunya yang semakin drop ketika berada di IGD. Tapi, dokter memintanya komunikasi dengan dokter lain karena dia sedang sibuk.

“Pas aku jaga sendiri, ibu bilang napasnya gak kuat. Terus aku minta tolong dokter, tapi dia males meriksa, ada urusan lain terus suruh sama yang lain. Terus ada dokter laki-laki ke ibu saya cuma nanya, mana yang sakit tanpa diperiksa,” jelasnya lagi.

Yesi membantah menolak dirujuk. Dia mau ibunya dirujuk ke manapun asal mendapat penanganan segera.

“Saya mau dirujuk, apa pun buat ibu saya andai dokter gak memaparkan risiko itu. Tapi, kalau dikasih (penjelasan) itu ya mundur saya, mending ibu saya tetap napas di sini. Apalagi dibilang kalau keluar dari IGD, BPJS dinonaktifkan,” timpalnya.

Cerita serupa dilontarkan Dea, adik Yesi menyebut, bahkan perawat juga menyampaikan kemungkinan terburuk pasien bisa meninggal dunia saat perjalanan. Pernyataan itu semakin membuat keluarga khawatir.

Budhe saya yang ngomong sama perawatnya, saya dengar. Perawat bilang gini, mbak aku gak mau berisiko, saya takut kalau ada apa-apa di tengah jalan. Belum lagi di RSUD Dr. Soetomo dapat kamar, ya saya gak mendoakan kalau meninggal di tengah jalan bagaimana. Itu petugasnya,” terangnya.

Berkas hasil rekam jantung yang diminta Dea pun ditolak petugas dengan alasan harus seizin dokter.

“Aku cuma minta foto rekam jantung dimarahi, itu pribadi harus ada izin dari dokter. Karena teman Yesi yang di RS Mitra Keluarga minta semua berkas. Tapi ga dikasih suster,” imbuhnya.

Dea juga menyebut, suster juga mengancam ada pemblokiran BPJS jika keluarga memaksa pasien dipindah perawatan.

“Terus suster bilang, kalau pulang paksa, pindah rawat, BPJS akan diblokir. Itu disampaikan waktu ibu masih di IGD,” terang Dea

Selama ini, lanjut Dea, ibunya tidak punya riwayat sakit. Tiba-tiba Jumat lalu ibunya mengeluh kesemutan dan lemas. Diagnosa terakhir dari RSUD Dr. Mohamad Soewandhie, Asiasih menderita liver sebelum meninggal dunia Rabu (31/5/2023).

“Jumat ke puskesmas, pas aku pulang kerja ibu ngeluh badan lelah, kesemutan dan paha sampai kaki kebas. Lama-lama imunnya turun. Badannya gak bisa digerakin,” imbuhnya.

Ayu Kader Surabaya Hebat (KSH) yang menemani Asiasih di rumah sakit pun menceritakan pelayanan petugas yang kurang sopan.

“Saya tanya atas nama Asiasih di mana waktu itu masih di IGD. Kata petugas yang ada di depan laptop, ibu telepon aja keluarga ibu ada di mana, kalau gak ada ya berarti sudah keluar,” terangnya.

Diberitakan sebelumnya, Asiasih meninggal dunia Rabu (31/5/2023) usai antre ruang ICU sejak Senin (29/5/2023) karena penuh.

Versi RSUD Dr. Mohamad Soewandhie, petugas sudah berkali-kali menawarkan rujukan pada keluarga pasien bahkan sejak awal Asiasih masuk ke IGD Sabtu (27/5/2023) namun kamar rawat inap penuh. Tapi, keluarga menolak dengan tanda tangan surat penolakan.(lta/rid)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
34o
Kurs